Kamis 27 Jun 2019 19:25 WIB

Rektor IAIN Surakarta Dikukuhkan Sebagai Guru Besar

Mudofir tertarik dengan isu-isu tentang relasi antara Tuhan, alam semesta dan manusia

Rep: Binti Sholikah/ Red: Friska Yolanda
Rektor IAIN Surakarta Mudofir (kanan).
Foto: Dok IAIN Surakarta
Rektor IAIN Surakarta Mudofir (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, SUKOHARJO -- Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Mudofir, dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-5 di IAIN Surakarta. Pengukuhan dilaksanakan dalam Sidang Senat Terbuka di kampus IAIN Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (27/6).

Dalam pengukuhannya, Mudofir membacakan pidato berjudul Argumen Konservasi Lingkungan dalam Perspektif Ekoteologi dan Ekosofi. Mudofir merupakan alumnus dari IAIN Surakarta yang dulu bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta. 

Baca Juga

Sejak berkuliah di STAIN Surakarta, Mudofir tertarik dengan isu-isu tentang relasi antara Tuhan, alam semesta dan manusia. Tiga tema kunci yang banyak dibahas di dalam Alquran tersebut menjadi perhatiannya hingga dituliskan sebagai disertasi.

Mudofir menjelaskan mengenai masalah konservasi lingkungan dalam kerangka teologi dan filsafat. Dalam konteks konservasi lingkungan, ekoteologi dan ekosofi dibutuhkan untuk menopang argumen-argumen etis, teologis dan filosofis sehingga diskursus-diskursus mengenai konservasi lingkungan memiliki kaitan rapat dengan Allah (al-Khaliq). Aspek-aspek teologi dan filsafat dalam bahasan ini dipakai sebagai landasan teologis dan filosofis bagi pentingnya konservasi lingkungan.

Ekoteologi merupakan bentuk teologi konstruktif yang membahas interelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan. Ekoteologi berangkat dari suatu premis bahwa ia ada karena adanya hubungan antara pandangan dunia keagamaan manusia dan degradasi lingkungan, interaksi antara nilai-nilai ekologi dan dominasi manusia atas alam.

Meskipun teologi pada dasarnya merupakan disiplin yang menyajikan masalah keimanan pada Tuhan dengan proposisi-proposisi yang kohern, namun ia terikat oleh konteks lingkungan (kosmos) dan manusia. "Masyarakat modern memerlukan ekoteologi bukan hanya sebagai cara atau tool untuk mempertahankan peradaban, tetapi sebagai tool untuk menyembuhkan akar-akar krisis ekologi yang tidak lagi terletak pada teknologi tetapi  pada keimanan dan struktur nilai manusia yang mengendalikan teknologi. Teologi menyediakan seperangkat nilai kepada manusia untuk menempatkan moral dalam relasinya dengan alam atau lingkungan," jelasnya seperti tertulis dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id. 

Ekosofi berangkat dari titik tilik filsafat yang mengkaji akar-akar filsafat dalam hubungannya dengan masalah lingkungan. Khazanah ekosofi ternyata sangat kaya dan memiliki perhatian besar pada masalah lingkungan. Ekosofi menawarkan nilai-nilai kebajikan universal memperkaya perspektif-perspektif manusia modern di dalam upaya melindungi bumi yang tidak cukup hanya dengan hokum dan undang-undang sekuler. Seruan agamawan, filosof, fisikawan, dan orang-orang bijak yang terangkum dalam bingkai ideologi atau pandangan hidup positif terhadap lingkungan menjadi masa depan yang menjanjikan.

Mudofir menambahkan, ada perbedaan antara nilai-nilai di dalam ekoteolgi dan ekosofi. Ekoteologi secara tegas mengaitkan nilai-nilai dari ajaran agama yang wahyuwi. Sedangkan ekosofi tidak dan hanya mengaitkan pada nilai-nilai universal manusiawi. Ekoteologi mewakili pandangan tradisi peradaban timur (the Oriental). Sementara ekosogi mewakili tradisi pemikiran barat (the Occidental).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement