Selasa 05 Feb 2019 18:31 WIB

Kakak Adik Kembangkan Lampu Hemat Energi Ramah Lingkungan

Lampu darurat ini dibuat menggunakan material lokal dan mudah diperoleh di pasaran.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
 Pengembang lampu hemat energi dan ramah lingkungan La Helist, Fadhiela Noer Hafiezha dari Teknik Mesin UGM, dan Chaieydha Noer Hafiezha dari Pertanian UGM.
Foto: Dokumen.
Pengembang lampu hemat energi dan ramah lingkungan La Helist, Fadhiela Noer Hafiezha dari Teknik Mesin UGM, dan Chaieydha Noer Hafiezha dari Pertanian UGM.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berhasil mengembangkan inovasi lampu darurat. Tidak cuma hemat energi, lampu itu sudah dikembangkan menjadi ramah lingkungan.

Lampu yang dinamakan La Helist itu mampu menjadi solusi bagi masyarakat dalam situasi darurat saat terjadi pemadaman listri ketika malam hari. La Helist sendiri merupakan kependekan dari Lampu Emergency Hemat Listrik.

Uniknya, kedua mahasiswa merupakan kakak beradik asal Blora, Jawa Tengah. Mereka adalah Fadhiela Noer Hafiezha dari Teknik Mesin UGM, dan Chaieydha Noer Hafiezha dari Pertanian UGM.

Mereka memanfaatkan fitting lampu yang dimodifikasi. Sehingga, menghasilkan lampu dengan terang yang tidak berbeda seperti lampu yang menggunakan daya listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Fadhiela mengatakan, pengembangan lampu darurat hemat energi itu terinspirasi dari seringnya pemadaman listrik terjadi di Blora. Utamanya, saat musim hujan yang menjadikan aktivitas masyarakat terganggu.

Akibatnya, masyarakat masih sering memakai lilin untuk penerangan saat listrik padam. Padahal, ia menekankan, penggunaan lilin memiliki potensi kebakaran saat ditinggal tidur.

"Untuk itulah kami mengembangkan lampu darurat dari LED dan menggunakan batu baterai yang aman dan praktis," kata Fadhiela, di Kantor Humas UGM, Jumat (1/2) lalu.

Lampu darurat ini dibuat menggunakan material lokal dan mudah diperoleh di pasaran. Komponen penyusun Lahelist di antaranya lampu LED, fitting lampu, trafo ferit, resistor, transistor, saklar, dan batu baterai.

Bagi Fadhiela, pembuatan lampu ini tidak sulit karena materialnya terbilang cukup mudah didapat. Bahkan, khusus ferit, bahannya dapat memanfaatkan limbah lampu yang tidak terpakai.

Untuk menghidupkan lampu, digunakan energi dari baterai kecil tipe AA 1,5 volt yang biasa dipakai untuk baterai dan jam dinding. Lampu dikembangkan dalam dua jenis, ada yang berdaya 3 dan 9 watt.

La Helist didesain secara minimalis dilengkapi saklar, sehingga dapat dibawa ke mana-mana dan dihidupkan kapan saja tanpa tergantung aliran listrik PLN. Selain hemat energi, lampu ini mampu menyala lebih dari 12 jam.

Lampu ini disebut lebih aman digunakan dibanding penggunaan lilin, dan tentu menjadi solusi yang baik untuk masalah pemadaman. Walau disebut sederhana, ia menekankan jika pembuatan lampu perlu ketelitian dan kesabaran. "Dalam sebulan kita produksi 500-1.000 lampu darurat," ujar Fadhiela.

La Helist telah diproduksi secara massal di Blora. Dalam produksinya, mereka dibantu empat pegawai yang bertugas sebagai teknisi. La Helist dijual dengan harga Rp 50 ribu untuk lampu berdaya 3 watt dan Rp 60 ribu untuk daya 9 watt.

"Pemesanan sudah menjangkau wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi," kata Chaiyedha.

Mereka berharap, kehadiran lampu darurat ini bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. Ke depan, keduanya akan terus mengembangkan lampu yang salah satunya dengan menaikkan tegangan dari 1,5 menjadi 3 volt.

Selain itu, mereka akan mengembangkan lagi lampu hemat energi ramah lingkungan dengan baterai isi ulang. Tujuannya tidak lain agar dapat dipakai untuk penerangan sehari-hari rumah tangga.

"Dengan adanya lampu darurat hemat listrik ini diharapkan bisa membantu masyarakat untuk mengatasi penerangan pada saat pemadaman listrik yang lebih aman dan lebih irit," ujar Chaiyedha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement