Rabu 26 Sep 2018 16:17 WIB

Rektor UIN Suka Sebutkan Alasan Maba Wajib 'Mondok'

Kewajiban 'mondok' dilakukan guna memberikan pengajaran dan ilmu kepada maba.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Kampus UIN Sunan Kalijaga.
Foto: Yusuf Assidiq
Kampus UIN Sunan Kalijaga.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Rektor Universitas Islam Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta, Yudian Wahyudi buka suara terkait kewajiban yang mengharuskan mahasiswa baru (maba) untuk dipesantrenkan atau 'mondok'. Kewajiban 'mondok' dilakukan guna memberikan pengajaran dan ilmu kepada maba itu sendiri.

Ia menuturkan, biaya yang dibebankan kepada wali mahasiswa sebesar Rp 4,8 juta per tahunnya masih terbilang rendah. "Biaya Rp 4,8 juta itu masih rendah jika dibandingkan dengan nilai untuk membayar kos di lingkungan kampus UIN," kata Yudian di UIN Suka Yogyakarta, Rabu (26/9). 

Selain itu, biaya tersebut juga masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan ilmu yang akan didapat oleh mahasiswa selama mengikuti ma'had di pesantren. Ma'had di pesantren wajib diikuti oleh maba selama satu tahun. 

Bagi wali mahasiswa maupun mahasiswa yang keberatan karena tidak mampu untuk membayar, dapat mengajukan surat permohonan keringanan. Surat permohonan dapat diajukan kepada rektor, sehingga mahasiswa tersebut dapat diringankan dalam hal pembayaran.

Seperti diketahui, wali mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta keberatan terkait penerapan kebijakan wajib pesantren atau 'mondok' bagi mahasiswa baru (Maba). Kebijakan tersebut dinilai tidak efektif. 

Salah satu wali mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Suka, Hasan Basri mempertanyakan terkait kurikulum dari pondok pesantren yang disediakan. Kebijakan wajib peeantren pun, lanjutnya, hanya satu tahun.

"Untuk anak-anak yang sudah mengabdi di pesantren sebelumnya dan yang belum, apakah disatukan, apakah materinya sama atau bagaimana. Kenapa wajib mondok cuma satu tahun. Apa target yang didapat dalam satu tahun itu," kata Hasan kepada Republika beberapa waktu lalu. 

Informasi terkait kebijakan wajib pesantren tersebut juga tidak dari awal diinformasikan kepada wali mahasiswa maupun mahasiswa itu sendiri. Sebab, wali maupun mahasiswa perlu untuk tahu terkait kualitas pondok pesantren yang disediakan.

"Saya setuju-setuju saja (maba wajib dipesantrenkan). Cuma kita harus tahu dulu kualitas dari pondok pesantren itu sendiri. Jangan sampai pondok pesantren mahasiswa itu identik dengan kos-kosan saja," ujarnya.

Sementara itu, salah satu maba dari Program Studi Ilmu Komunikasi, Ma'ruf juga keberatan dengan kebijakan tersebut. Ia keberatan karena harus mengeluarkan biaya lebih untuk tinggal di pondok pesantren. Menurutnya, biaya pondok pesantren itu ada yang mencapai Rp 4,8 juta per tahun.

"Saya pribadi keberatan kalau diwajibkan mondok, karena dari faktor ekonomi tidak memadai karna mendapatkan UKT yang tergolong mahal, dan juga saya lulusan dari pondok semisal disuruh mondok lagi saya rasa sudah cukup pengalaman saya di pondok," katanya.

Ia pun berharap, kebijakan tersebut tidak diterapkan kepada maba. Namun, bisa digantikan dengan menerapkan kebijakan lain.

"Penetapan kewajiban pondok diganti, misalnya dari fakultas yang harus diwajibkan mondok itu, memberikan bimbingan tentang agama satu minggu berapa kali pertemuan gitu, asalkan jangan mondok," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement