Rabu 06 Jun 2018 04:41 WIB

IPB Tunggu Klarifikasi BNPT Terkait Radikalisme Kampus

Stigma radikalisme kampus bisa berdampak pada kekhawatiran orang tua.

Rektor IPB Dr Arif Satria.
Foto: Dok IPB
Rektor IPB Dr Arif Satria.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Rektor IPB Dr Arif Satria mengatakan telah meminta klarifikasi BNPT terkait data yang menyebutkan tujuh kampus terpapar radikalisme. "Kami dengan BNPT masih terus klarifikasi,” kata Arif di Bogor, Selasa (5/6). 

IPB berharap BNPT bisa memanggil para pimpinan perguruan tinggi untuk bisa memberikan informasi yang lebih lengkap dan lebih utuh. “Sehingga, kami bisa mencermati," kata Arif.

Arif mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum mendapat klarifikasi dari BNPT. Akan tetapi, secara lisan permintaan untuk klarifikasi telah disampaikan pada momen wawancara di televisi, Senin (4/6) malam .

Dalam kesempatan itu, Arif menyampaikan secara lisan ke perwakilan BNPT yang hadir, bahwa IPB siap untuk bekerja sama, kooperatif, dan terbuka dengan pihak-pihak otoritas. "BNPT otoritas negara, IPB harus mendukung bahwa peran negara melindungi warganya," katanya.

Arif menyebutkan, sebagai perguruan tinggi, IPB harus bisa terbuka terhadap masukan, kritik. Karena, terkadang tidak semua yang diketahui IPB secara 100 persen ada temuan BNPT tersebut.

Menurutnya, masyarakat secara nasional ingin mengetahui rasional dan objektif mendengarkan klarifikasi dari BNPT terkait bagaimana tujuh nama tersebut bisa muncul. "Supaya bisa fair, supaya lebih enak, kalau itu berdasarkan hasil kajian, apa kriterianya apa, metodenya bagaimana, pengambilan data seperti apa," katanya.

Arif mengakui, dengan adanya pernyataan BNPT menjadi isu yang sudah menyebar, IPB dalam posisi yang dirugikan. Sebab, stigmatisasi itu bagian dari penyederhanaan dan generalisasi terhadap masalah-masalah yang ada.

"Jangan sampai nanti semua orang ke masjid takut, mau mengaji takut, pakai kerudung takut itu dianggap radikal, ini sesutau yang tidak kondusif, bakankah hak beragama masyarakat perlu diperluas," katanya.

Arif menambahkan, stigmatisasi radikalisme di kampus ini bisa berdampak pada kekhawatiran orang tua, dan calon-calon mahasiswa. Padahal, semestinya di era seperti ini harus memberikan informasi yang kondusif. 

Informasi itu bahwa kampus-kampus yang ada di Indonesia benar-benar menyediakan ajang yang bagus untuk membuat mahasiswa berkembang, dan untuk menumbuhkan potensinya. Ia mengatakan, saat ini, energi mahasiswa IPB didorong agar fokus pada pengembangan profesi, dan profesionalitas. 

Sebab, IPB dibangun untuk membangun bangsa, bukan untuk membangun yang lain. Dia mengatakan membangun bangsa dengan profesi yang kuat harus diikuti dengan akhlak yang baik dengan manajemen yang baik lagi.

IPB lanjut dia, mendukung Negara Republik Indonesia dalam menegakkan keamanan, kedamaian, kenyamanan untuk berkehidupan, serta saling percaya. "Berharap kalau itu dibangun, kalau energinya saling percaya jadi sangat kuat, untuk menghadapi isu terorisme yang sangat kuat ini," kata Arif.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement