Ahad 27 Nov 2016 20:44 WIB

Menyiapkan Tenaga Terampil dengan Pendidikan Vokasi

Sejumlah mahasiswa Polman Astra sedang belajar mengoperasikan mesin di ruang praktek kampus.
Foto: Muhammad Hafil/Republika.co.id
Sejumlah mahasiswa Polman Astra sedang belajar mengoperasikan mesin di ruang praktek kampus.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil/Wartawan Republika.co.id

 

Dalam sebuah perbincangan keluarga, akhir Mei 2016 lalu,  Ahmad (31 tahun) warga Kota Depok, Jawa Barat, melarang adiknya yang baru lulus SMA, untuk melanjutkan ke sebuah politeknik. Alasannya, lulusan politeknik hanya mendapatkan gelar diploma. “Nanti kamu susah cari kerjanya. Di sini (Indonesia) yang banyak dicari oleh perusahaan atau instansi pemerintah adalah lulusan S1,” cerita Ahmad kepada Republika.co.id belum lama ini.

Selain berpandangan lulusan S1 mudah mendapat kerja, Ahmad juga berpikiran bahwa hanya lulusan S1 yang bisa mendapatkan posisi dan pangkat yang layak di perusahaan atau instansi pemerintah. Gambarannya, semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan menaikan golongan jika menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Akhirnya, adiknya itu tidak jadi melanjutkan kuliahnya di politeknik tersebut. 

Di Indonesia, pendidikan vokasi (kejuruan) jenjang diploma satu hingga empat memang lebih sedikit peminatnya dibanding pendidikan tinggi tingkat sarjana. Hal tersebut bisa dilihat dengan jumlah perguruan tinggi berbasis pendidikan vokasi seperti politeknik. Padahal di negara-negara maju yang industrinya kuat,  politeknik lebih banyak jumlahnya dari universitas.

Sebagai contoh, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, dari 391 perguruan tinggi di Jerman, sebanyak 223 perguruan tingginya adalah politeknik. Sisanya adalah 110 universitas (umum), dan 58 akademi seni dan musik. 

Sedangkan di Indonesia, dari 4.962 perguruan tinggi, 2.597 adalah universitas. Sedangkan perguruan tinggi yang berbasis pendidikan vokasi seperti politeknik hanya 270 atau hanya sekitar 6 persen dari seluruh jumlah perguruan tinggi di Indonesia.  Untuk jumlah mahasiswanya, dari 10 juta mahasiswa di perguruan tinggi, mahasiswa pendidikan vokasi hanya sebanyak 234.495 orang. 

Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Intan Ahmad, tak menampik orang Indonesia berpikiran semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan memudahkan mendapat pekerjaan.  Sehingga, banyak orang yang memilih jenjang sarjana dibanding pendidikan vokasi.

Padahal faktanya, kata Intan, masyarakat banyak yang  tidak tahu pekerjaan apa yang dibutuhkan oleh industri. Sejatinya, industri yang merupakan penggerak ekonomi dan pembangunan, membutuhkan pekerja yang memiliki kompetensi. “Nah, kalau ingin menambah keterampilan yang kompeten tetapi memilih pendidikan yang berlatar akademik (teori) ini tidak ketemu,” kata Intan kepada Republika.co.id, Jumat (18/11).

Sedangkan untuk keterampilan dan kompetensi, banyak dihasilkan oleh pendidikan vokasi. Ini karena dalam kurikulumnya, pendidikan vokasi memberi porsi lebih besar untuk praktek ketimbang teori.

Dari sisi kesejahteraan pun, pendidikan vokasi juga bisa menekan angka pengangguran terdidik. Di mana, lulusan pendidikan vokasi yang sudah siap pakai, sangat dibutuhkan oleh industri. “Jadi sebenarnya, lulusan pendidikan vokasi ini bisa lebih cepat dapat pekerjaan karena sudah siap pakai karena sudah memiliki bekal keterampilan yang dibutuhkan oleh industri,” kata Intan.

Sebagai gambaran, setiap tahun, perguruan tinggi se-Indonesia melahirkan jutaan lulusan. Sebagian besar di antara mereka tidak terserap pasar tenaga kerja dan menganggur. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, sebanyak 7,56 juta orang bertitel sarjana. Banyaknya pengangguran tersebut  terjadi karena rendahnya kompetensi dan minimnya keterampilan yang dimiliki oleh calon tenaga kerja sehingga alokasi lapangan pekerjaan tidak sepenuhnya terpenuhi. “Tingkat pengangguran tinggi karena lulusannya tidak sesuai kebutuhan. Jadi untuk generasi muda, kenapa tidak memilih pendidikan vokasi,” kata Intan. 

Menurut Intan, pola pikir semakin tinggi pendidikan semakin mudah mendapat kerja itulah yang sekarang secara perlahan harus mulai dirubah. Karena itu, pemerintah sekarang menambah perhatian pada pendidikan vokasi. Sebagai contoh, Presiden Joko Widodo pada April 2016 lalu, mengunjungi Jerman untuk membicarakan peningkatan kerja sama pendidikan vokasi  agar sumber daya manusia Indonesia memiliki daya saing dalam menghadapi persaingan pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). 

Jerman ditiru karena keunggulan pendidikan vokasinya yang didukung oleh //Duales System// (kombinasi praktik di industri dan di kelas serta teori) yang berbasiskan pada kolaborasi yang sangat erat antara institusi pendidikan, perusahaan/industri, dan pemerintah.

Peran perusahaan

Untuk memajukan pendidikan vokasi itu dibutuhkan peran dari semua  semua pemangku kepentingan. Termasuk dari pihak perusahaan selaku pelaku dunia industri.“Misalnya PT Astra International Tbk yang mendirikan politeknik (Polman Astra). Itu bagus sekali jika mereka ikut mengembangkan pendidikan vokasi, “ kata Intan.

Artinya, dengan mendirikan politeknik sendiri, menunjukkan bahwa perusahaan tersebut membutuhkan calon tenaga kerja yang sesuai untuk kebutuhan industri mereka. Sehingga, lulusan dari politeknik tersebut sesuai kebutuhan perusahaan. 

“Nah, kalau di negara-negara maju itu kontribusi dari sektor swasta dalam mengembangkan pendidikan vokasi luar biasa sekali,” kata Intan. Selain itu, dengan adanya perusahaan yang mendirikan politeknik sendiri, secara tidak langsung mendukung program yang dijalankan pemerintah. Yakni, untuk memajukan pendidikan vokasi di tanah air. 

 Dengan begitu, perusahaan sebenarnya telah menjalankan corporate social responsibility (CSR). Karena, perusahaan tersebut mencetak SDM yang handal dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri. “Sehingga generasi mendatang kita adalah orang-orang kompeten dan siap bersaing. Apalagi sekarang era MEA (masyarakat ekonomi ASEAN),” kata Intan.

Salah satu perusahaan yang ikut menyelenggarakan pendidikan vokasi adalah PT Astra International Tbk yang bernama Politeknik Manufaktur (Polman) Astra. Politeknik ini didirikan pada 1995 untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja yang handal dan terampil.

“Jadi, jauh sebelum pemerintah mengkampanyekan pendidikan vokasi saat ini, kita sudah mendirikan politeknik sendiri,” kata Wakil Direktur Polman Astra, Tonny Pongoh kepada Republika.co.id, Senin (14/11).

Tony mengakui, tidak banyak perusahaan yang menyelenggarakan pendidikan vokasi, khususnya di bidang teknik karena membutuhkan biaya yang mahal. Dari sisi pengelolaan, jika bukan perguruan tinggi negeri, maka perusahaan harus memberikan subsidi yang besar untuk pendidikan vokasi ini. “Namun, Astra sejak 1995 itu, sudah memikirkannya. Kalau tenaga kerja terampil tidak mencukupi kebutuhan industri, sampai kapanpun Indonesia akan sulit menjadi negara industri yang kuat,” kata Tony.

Menurut Tony, seharusnya para pemangku kepentingan tidak perlu menggantungkan kepada pemerintah untuk mengembangkan pendidikan vokasi. Karena itu, perusahaan seharusnya berpastisipasi dengan menyelenggarakan pendidikan vokasi seperti yang dilakukan Astra.

Direktur Polman Astra, Tony Harley Silalahi, menambahkan, jika dihitung secara bisnis pendidikan, apa yang ibuat oleh Astra secara keuntungan ekonomis tidak terkejar. Dalam arti, Astra melihat bahwa mendirikan politeknik sendiri adalah bagian dari program CSR.  

Karena, untuk menciptakan tenaga terampil terutama di bidang teknik, membutuhkan yang sangat besar. Di Polman, setiap mahasiswa harus memegang satu alat ketika praktek. Berbeda dengan perguruan tinggi lain yang satu alat bisa dipegang oleh banyak mahasiswa. “Investasi alatnya kan mahal, sehinga kalau hitung-hitungan bisnis pendidikan gak masuk. Astra membuka dan mengembangkan Polman adalah bentuk dari CSR yakni untuk mengembangkan pembangunan SDM Indonesia di samping untuk mendukung industri Astra sendiri,”kata Tony.

Sebagai gambaran, setiap mahasiswa regular Polman, Astra memberikan subsidi hingga 60 persen. Ini belum termasuk program beasiswa penuh yang diberlakukan sejak 2009, di mana setiap angkatan, sebanyak 35 persen dari total keseluruhan mahasiswanya diberikan beasiswa penuh. 

Meski mendapatkan subsidi dari Astra, tetapi lulusannya tidak diwajibkan untuk terikat ikatan dinas. Alumni bebas untuk bekerja di manapun. “Kalaupun ada yang memilih bekerja di Astra, itu karena pilihan mereka sendiri dan itupun harus melalui rangkaian tes dulu,” kata Tony.

Merasakan manfaat

Salah satu alumni yang merasakan manfaat dari pendidikan vokasi d Polman Astra adalah Sujatna. Dia adalah angkatan pertama yang merasakan beasiswa penuh untuk belajar di sini pada 2009 lalu.

Saat duduk di bangku kelas tiga SMA 4 Kota Bekasi, Sujatna sudah berniat tak akan kuliah jika tak mendapatkan beasiswa. Karena, ia berasal dari keluarga yang kurang mampu.  Namun, dia mendapatkan informasi bahwa ada informasi beasiswa penuh dari Polman Astra.  

“Alhamdulillah, selama kuliah saya tidak keluar biaya sepeser pun dan bahkan mendapatkan uang sangu,” kata Sujatna.  Setelah lulus, dia bekerja di salah satu anak perusahaan Astra. 

Selain mendapatkan manfaat kuliah gratis dan keterampilan, Sujatna mengaku mendapatkan pendidikan karakter dari Polman. Yakni, karakter perusahaan Astra sendiri yang didapatkan dari mentor-mentor Astra, dosen, maupun seniornya. 

Hasilnya, setelah masuk ke dunia kerja, dia sudah tidak merasa canggung lagi untuk cepat beradaptasi. Ini berbeda dengan lulusan perguruan tinggi lain yang masuk ke dunia industri yang membutuhkan waktu lama untuk beradatasi.

Selain itu, dia juga ditanamkan nilai-nilai inovasi dari Polman. Sehingga, ketika bekerja dia tidak hanya sekedar menjadi operator tetapi juga membuat inovasi agar cara kerja di perusahaanya semakin berkembang. “Ini yang membedakan kita. Di tempat kerja pun kita inginnya terus belajar dan mengembangkan diri untuk menjadi pembelajar seumur hidup,” kata Sujatna. 

Sedangkan Hendrikus Dwi R, ketua alumni Polman Astra mengatakan, selama kuliah, mahaaiswa juga ditanamkan soal pendidikan kewirausahaan. Kebanyakan alumni yang memasuki dunia kerja, jarang yang berpindah kerja di tempat selain Astra. Namun, jika mereka keluar dari Astra, hampir semuanya membuat usaha sendiri, terutama di bidang manufaktur.

“Jadi karena ditanamkan sejak kuliah, ketika bekerja banyak alumni yang membangun jaringan. Ketika modalnya cukup dan memiliki kompetensi, banyak dari mereka yang membuat usaha sendiri dan akhirnya membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain,” kata Hendrikus.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement