Jumat 11 Jan 2019 21:22 WIB

Polda DIY: Korban Pemerkosaan di UGM Menolak Divisum

Penolakan visum dari korban pemerkosaan di UGM dinilai menghambat penyidikan.

Aksi solidaritas mahasiswa-mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11). Mengusung tagar Kita Agni, mereka menuntut Kampus UGM mengusut tuntas kasus perkosaan yang diduga terjadi dalam kegiatan KKN di Maluku tahun lalu.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Aksi solidaritas mahasiswa-mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di Taman Sansiro Fisipol UGM, Kamis (8/11). Mengusung tagar Kita Agni, mereka menuntut Kampus UGM mengusut tuntas kasus perkosaan yang diduga terjadi dalam kegiatan KKN di Maluku tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Daerah Istimewa Yogyakarta Komisaris Besar Polisi Hadi Utomo mengatakan mahasiswi UGM korban dugaan pemerkosaan saat KKN pada 2017 menolak divisum. Sehingga, menghambat proses penyidikan yang sedang berjalan.

"Kami sudah menerima surat penolakannya, tetapi bukan dari AL (inisial korban) melainkan dari kuasa hukumnya. Saya juga tidak tahu apakah AL benar-banar paham atas surat yang dibuat itu," kata Hadi Utomo, di Mapolda DIY, Jumat (11/1).

Menurut Hadi, keengganan korban untuk melakukan visum menjadi hambatan. Pasalnya untuk melakukan pengungkapan kasus pemerkosaan, menurut dia, visum et repertum merupakan salah satu tahap untuk membuktikan kasus itu benar-benar terjadi.

"Laporannya adalah dugaan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan. Nah, kalau kita lihat nomenklaturnya pemerkosaan, berarti kita harus buktikan apakah sudah terjadi atau belum hubungan badan itu," kata dia lagi.

Menurut Hadi, tidak tepat apabila dari pihak korban menolak visum atas dasar pertimbangan bahwa kasus itu sudah terjadi setahun yang lalu. "Kalau urusan tempus delicti (waktu kejadian) itu urusannya ahli. Bukan masalah relevan atau tidak relevan memangnya dia ahli. Penyidik bekerja berdasarkan alat bukti yang ada, bukan berdasarkan asumsi-asumsi," kata dia pula.

Terkait adanya permintaan dari pihak korban untuk mengganti dengan visum et repertum psikiatrum atau visum psikis, menurut Hadi, hal itu merupakan tahapan visum lanjutan setelah visum secara fisik dilakukan. "Jadi habis (pemeriksaan) klinis dulu baru itu (visum psikis) tahapannya," kata dia.

Meski tanpa ada visum, kata Hadi, penyidikan akan tetap dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan medis terhadap korban. Pemeriksaan medis tidak harus dari pihak kepolisian, melainkan bisa dari dokter yang sebelumnya pernah didatangi korban pascaperistiwa itu terjadi.

"Kalau misalnya saudara AL ini pernah berobat ke dokter, maka akan saya minta rekam medisnya," kata Hadi lagi.

Sebelumnya, kuasa hukum korban, Catur Udi Handayani mengatakan bahwa korban menolak melakukan visum et repertum karena bekas luka fisik sudah hilang mengingat waktu kejadian yang sudah terlalu lama. "Meski demikian, penyintas mengajukan permohonan untuk melakukan visum et repertum psikiatrum, karena dampak psikologis dari peristiwa kekerasan tersebut masih membekas hingga saat ini," kata Catur.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement