Kamis 15 Nov 2018 19:57 WIB

UGM Bantah Tahan Kasus Perkosaan Dipolisikan

UGM menegaskan sejak awal telah menawarkan kasus ini dibawa ke ranah hukum

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Esthi Maharani
UGM
Foto: ugm.ac.id
UGM

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mengambangnya kasus perkosaan memunculkan tudingan jika Universitas Gadjah Mada (UGM) menahan kejadian itu dibawa ke ranah hukum. Namun, tudingan itu segera dibantah UGM.

Melalui juru bicaranya, UGM menegaskan sejak awal telah menawarkan kasus ini dibawa ke ranah hukum. Kepala Humas dan Protokol UGM, Iva Ariani mengatakan, penawaran itu juga telah disampaikan kepada penyintas.

"Sangat tidak benar, dari awal mencuat kasus ini kita sudah tawarkan menuju ranah hukum, memang pada waktu itu tidak disetujui Tim Independan dan penyintas, sehingga itu belum kita lakukan," kata Iva kepada Republika, Kamis (15/11).

Ia menerangkan, Tim Independen yang melakukan investigasi sendiri berjalan paralel dengan Tim Etik yang sudah memberikan rekomendasi awal. Selain itu, dilakukan pembentukan Crisis Center atau unit pelayanan pengaduan.

Artinya, fungsi yang dijalankan ketiganya tidak menunggu satu sama lain, tapi berjalan paralel. Sembari proses itu dilaksanakan, kasus ditelaah untuk menuju ke ranah hukum atau tidak.

Sekali lagi, Iva menekankan, jika sejak awal UGM telah menawarkan kasus itu dibawa ke ranah hukum. Tapi, ia menekankan, UGM tetap menghormati keinginan penyintas mengingat persoalan ini tidak mudah.

Utamanya, terkait kondisi mental dan psikologis penyintas yang pasti mengalami tekanan. Karenanya, sembari tetap menghormati keinginan penyintas, UGM tetap menjalankan pembenahan agar kejadian serupa tidak terulang.

"Kita komitmen untuk menjadi kampus yang bebas kekerasan seksual, kekerasan akademis dan kekerasan lain," ujar Iva.

Menurut Iva, pembenahan dilakukan dengan banyak cara yang salah satunya lewat tambahan amteri-materi pembekalan kepada mahasiswa-mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Itu jadi penegasan lain kalau UGM telah melaksanakan rekomendasi awal.

Meski begitu, ia mengungkapkan, UGM akan tetap melakukan koordinasi dengan penyintas. Artinya, jika memungkinkan, UGM sendiri yang akan membawa kasus tersebut ke ranah hukum.

"Intinya, kita support penyintas untuk mendapatkan keadilan," kata Iva.

Selain itu, ia mengingatkan jika UGM telah menerapkan sejumlah sanksi kepada diduga pelaku sesuai rekomendasi. Salah satu sanksi itu sendiri merupakan penundaan wisuda selama satu semester.

Walau tidak menutup kemungkinan ada sanksi-sanksi lain yang direkomendasikan Tim Etik ke depan, Iva menolak berandai-andai. Terlebih, UGM bicara di ranah etik dan ranah hukum jelas bukan bagian UGM.

Iva menambahkan, UGM, Tim Investigasi dan Tim Etik sendiri tetap melakukan komunikasi terkait perkembangan kasus tersebut. Komunikasi dilakukan pula dengan melibatkan pihak ketiga Rifka Annisa.

Rifka Annisa sendiri merupakan organisasi nonpemerintah yang sejak awal telah diputuskan untuk melakukan pendampingan kepada penyintas. Ia menekankan, UGM mendukung langkah yang diperlukan dengan mengedepankan kepentingan penyintas.

"Kita mendukung 100 persen apapun yang akan dilakukan untuk menegakkan keadilan," ujar Iva.

Sayangnya, hampir dua pekan usai kasus yang terjadi akhir tahun lalu ini kembali mencuat, penyintas belum mau memberikan pernyataan resmi. Penyintas tidak pula melaporkan kejadian yang menimpanya ke Polisi.

Walau Polisi telah melakukan penyelidikan terhadap kasus ini, yang dilakukan tentu terbatas karena hanya didasarkan Laporan Informasi (LI). Artinya, Polisi tidak akan bisa melakukan pemeriksaan terhadap korban maupun pelaku.

Sebab, untuk melakukan pemeriksaan apalagi pemanggilan, Polisi harus memiliki dasar Laporan Polisi (LP). Sehingga, Polda DIY hanya bisa menyerahkan Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) kepada Polda Maluku.

Hingga Kamis (15/11), melalui narahubung dari gerakan #KitaAgni, Nadine Kusuma, penyintas masih berharap rektorat memenuhi tuntutan DO dan catatan buruk bagi pelaku. Sayangnya, penyintas masih tetap menolak memberikan konfirmasi apapun.

"Maaf sekali lagi penyintas tidak bersedia diwawancarai dalam bentuk apapun," kata Nadine kepada Republika, Kamis (15/11).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement