Selasa 11 Sep 2018 19:17 WIB

Wali Mahasiswa Keluhkan Kewajiban 'Mondok' Maba UIN Suka

Kebijakan wajib pesantren tersebut juga tidak dari awal diinformasikan.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
UIN Sunan Kalijaga
Foto: Dokumen
UIN Sunan Kalijaga

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Wali mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta keberatan terkait penerapan kebijakan wajib pesantren atau 'mondok' bagi mahasiswa baru (Maba). Kebijakan tersebut dinilai tidak efektif. 

Salah satu wali mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Suka, Hasan Basri mempertanyakan terkait kurikulum dari pondok pesantren yang disediakan. Kebijakan wajib peeantren pun, lanjutnya, hanya satu tahun.

"Untuk anak-anak yang sudah mengabdi di pesantren sebelumnya dan yang belum, apakah disatukan, apakah materinya sama atau bagaimana. Kenapa wajib mondok cuma satu tahun. Apa target yang didapat dalam satu tahun itu," kata Hasan kepada Republika, Selasa (11/9).

Informasi terkait kebijakan wajib pesantren tersebut juga tidak dari awal diinformasikan kepada wali mahasiswa maupun mahasiswa itu sendiri. Sebab, wali maupun mahasiswa perlu untuk tahu terkait kualitas pondok pesantren yang disediakan.

"Saya setuju-setuju saja (maba wajib dipesantrenkan). Cuma kita harus tahu dulu kualitas dari pondok pesantren itu sendiri. Jangan sampai pondok pesantren mahasiswa itu identik dengan kos-kosan saja," ujarnya.

Ia menyebutkan, untuk masuk pesantren pun juga harus dilakukan tes terhadap mahasiswa. Sebab, kemampuan mahasiswa berbeda-beda, ada yang menguasai dengan baik ilmu agama dan ada yang tidak.

"Anak saya itu sudah mondok enam tahun, dan satu tahun pengabdian. Ketika ada mewajibkan mondok, itu harus ada tes dulu. Tes kemampuan terhadap anak-anak yang belum bisa membaca Quran dan yang sudah, kan harus ada klasifiasinya. Jangan sampai orang yang sudah bisa baca Quran disuruh lagi baca Iqra," ujarnya.

Hal lain yang membuat ia keberatan dengan kebijakan tersebut yaitu lokasi pondok pesantren yang jauh dari lokasi kampus. Hal tersebut akan semakin menyulitkan mahasiswa karena harus mengeluarkan uang transportasi dan waktu yang lebih menuju ke kampusnya.

"(Pondok pesantren) Nawasea itu jauh dari lingkungan kampus. Itu di Wonosari. Kalau yang lain kan keberatan sama masalah biaya dan transportasi karena jarak, di samping itu juga mempertanyakan tentang kurikulumnya," tambahnya.

Ia pun telah mencoba menanyakan terkait kebijakan wajib pesantren tersebut kepada pihak universitas. Namun, jawaban yang ia terima pihak universitas akan menampung semua masukan dari wali mahasiswa. Untuk itu, pihak universitas akan melakukan mediasi dengan wali mahasiswa pada Rabu (12/9) besok.

Ia pun berharap mendapat jawaban yang jelas dari pihak universitas setelah mediasi yang akan dilakukan tersebut. "Harapan saya, ini kan bukan persoalan saya sendiri tapi juga dengan yang lain. Wajib mondok tidak apa-apa, tapi tidak harus di Wanasea. Di situ yang dekat dengan kampus ada Al Munawir dan sebagainya. Kalau untuk meningkatkan kualitas dan sebagainya kan ada kegiatan lain juga yang bisa dilakukan," katanya.

Wali mahasiswa lainnya, Davos mengungkapkan, ia tidak masalah dengan kebijakan tersebut. Namun, karena melihat maba yang tidak bersemangat dengan diterapkannya kebijakan tersebut, ia pun keberatan.

"Saya pribadi ndak masalah, hanya saya kasihan liat anak down. Kebanyakan anak-anak maba (FISHUM) tidak setuju, tapi tidka tahu fakultas umum yang lain," kata Davos.

Dari mediasi yang rencananya digelar besok, ia berharap agar mendapat solusi yang jelas dari pihak universitas. Sehingga ada kejelasan terkait kebijakan tersebut dan tentunya tidak merugikan baik wali, mahasiswa maupun pihak universitas.

Sementara itu, salah satu maba dari Program Studi Ilmu Komunikasi, Ma'ruf juga keberatan dengan kebijakan tersebut. Ia keberatan karena harus mengeluarkan biaya lebih untuk tinggal di pondok pesantren. Menurutnya, biaya pondok pesantren itu ada yang mencapai Rp 4,8 juta per tahun.

"Saya pribadi keberatan kalau diwajibkan mondok, karena dari faktor ekonomi tidak memadai karna mendapatkan UKT yang tergolong mahal, dan juga saya lulusan dari pondok semisal disuruh mondok lagi saya rasa sudah cukup pengalaman saya di pondok," katanya.

Ia pun berharap, kebijakan tersebut tidak diterapkan kepada maba. Namun, bisa digantikan dengan menerapkan kebijakan lain.

"Penetapan kewajiban pondok diganti, misalnya dari fakultas yang harus diwajibkan mondok itu, memberikan bimbingan tentang agama satu minggu berapa kali pertemuan gitu, asalkan jangan mondok," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement