Senin 11 Jun 2018 21:58 WIB

Ketua DPR Minta BIN ke Kampus Tangani Radikalisme

ia juga akan meminta Polri untuk menggerakkan intelijennya

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Esthi Maharani
Ketua DPR RI - Bambang Soesatyo
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua DPR RI - Bambang Soesatyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta Badan Intelijen Negara (BIN) masuk ke kampus-kampus. Hal ini dikatakan Bambang menindaklanjuti data yang didapat pemerintah terkait sejumlah perguruan tinggi yang mahasiswanya sudah terpapar radikalisme.

"Saya mendorong komisi 1 untuk menggerakan BIN untuk menyebar ke kampus apakah informasi itu benar adanya atau hanya isapan jempol," kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu di Duren Tiga Jakarta Selatan, Senin (11/6).

Bamsoet mengatakan pihaknya akan mengkaji lagi data yang diberikan pemerintah terkat mahasiswa yang terpapar radikalisme. DPR, kata Bambang, akan mendorong komisi III untuk melakukan pendalaman. Selain itu, ia juga akan meminta Kapolri Jenderal Polisi, Tito Karnavian untuk menggerakkan intelijennya.

(Baca: Usulan Pendataan Medsos Berpotensi Ganggu Suasana Akademik)

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengajak semua pihak melakukan refleksi sekaligus mengambil langkah konkret dalam mencegah radikalisme di kampus. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain, penguatan kapasitas dosen tentang wawasan nusantara dan komitmen kebangsaan serta mewajibkan mengaktifkan dosen sebagai penggerak wawasan ke-Indonesiaan dan kebangsaan dalam proses edukasi di kampus.

"Birokrat kampus dan civitas akademika juga harus memiliki persepsi yang sama tentang komitmen kebangsaan" kata Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, para insan kampus wajib memperkuat mata kuliah tertentu, seperti penguatan tafsir kebangsaan dan ideologi negara. Penguatan ini tidak hanya dijadikan teori saja, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Para dosen dan pendidik tidak boleh ada yang berideologi radikal. Karena itu, proses seleksi dosen menjadi kunci. Selain itu, setiap pengajar, pendidik serta dosen harus mampu merealisasikan nilai-nilai Pancasila," kata dia.

Rektor Universitas Brawijaya Nuhfil Hanani menuturkan, kampusnya tidak terpapar radikalisme. Hal ini ia ketahui setelah menanyakan pada mahasiswanya ketika mendengar kampus itu terpapar radikalisme. Nuhfil juga mengaku sudah menginterogasi organisasi ekstra yang bersinggungan dengan mahasiswa.

"Insya Allah tidak ada yang sifatnya radikal. Masjid-masjid InsyaAllah tidak ada. Memang dulu ada HTI, tapi sekarang sementara minggir dulu," ujar Nuhfil.

Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria meminta bantuan kepada organisasi masyarakat agar turut serta menekan angka kemungkinan radikalisme. Ia berharap penyebaran ajaran ini bisa ditekan sebelum memasuki ranah kampus.

"Saya berharap ormas NU Muhammadiyah turun gunung sejak SMP, SMA dan mahasiswa. Karena itu sudah mulai sejak SMA mulai digarap. Maka ini tidak bisa menyelesaikan kampus saja selesai," tutup dia.

BNPT sebelumnya menyebut ada tujuh kampus PTN yang terpapar radikalisme. Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) disebut BNPT sudah disusupi paham radikal.


Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement