Jumat 08 Jun 2018 18:49 WIB

Kegigihan Petugas Parkir Antarkan Putrinya Kuliah di UGM

Menjadi petugas parkir sudah dilakoni Turino selama 13 tahun terakhir.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
 Dea Mandasari (tengah), salah satu mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berhasil masuk tanpa tes, diapit kedua orangtuanya.
Foto: Dokumen.
Dea Mandasari (tengah), salah satu mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berhasil masuk tanpa tes, diapit kedua orangtuanya.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dea Mandasari (18 tahun), mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang masuk tanpa tes, tidak pernah mengeluh terlahir dalam keluarga yang serba pas-pasan. Dea, memilih tetap berjuang dalam keterbatasan untuk menggapai impian-impiannya.

Walau ayahnya hanya petugas parkir, Dea tidak pernah merasa minder memiliki cita-cita tinggi, termasuk mengenyam bangku kuliah. Ketekunannya terbukti membuahkan hasil, mengantarkannya ke Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM tanpa tes.

Dea merupakan anak kedua dari empat bersaudara, putri pasangan Turino Junaidi dan Sadati. Sang ayah sehari-hari menjadi tukang parkir di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sedangkan Sang Ibu membantu menopang perekonomian keluarga dengan berjualan pulsa.

Menjadi petugas parkir sudah dilakoni Turino selama 13 tahun terakhir. Penghasilannya yang hanya 1,5 per bulan, memang tampak pas-pasan untuk menghidupi istri dan keempat anaknya.

Untuk menjaga dapurnya tetap 'ngebul' Turino mengambil pekerjaan sebagai tukang antar sayur-mayur dari Pasar Kebayoran Lama ke sejumlah restoran sejak enam tahun silam. Setiap harinya, Turino mengantar ke dua tujuan berbeda dengan upah Rp 70 ribu.

Kegigihan Turino tidak berhenti. Saat libur sebagai petugas parkir, Turino menjadi pengemudi ojek daring. "Biasanya saya tugas parkir di pasar 15 hari, jadi satu hari on satu hari off, dapat jadwal jam 11 sampai 6 sore," kata Turino.

Menanggung beban berat menghidupi keluarga di tengah kerasnya Ibu Kota tampak membuat wajah Turino cepat menua. Wajahnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya yang baru menginjak usia 47 tahun.

Turino memang bekerja membanting tulang, namun bukan ingin mengumpulkan kekayaan. Dia cuma ingin anaknya bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, sebab Turino paham pendidikan bagi anak-anak merupakan yang terpenting dalam hidupnya.

"Apapun saya kerjakan yang penting halal, selagi masih kuat akan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anak," ujar Turino.

Lelaki berkacamata ini tidak ingin anak-anaknya bernasib sama seperti dirinya yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Turino ingin semua anaknya berpendidikan, sehingga dapat hidup layak karena ia yakin pendidikan bisa mengubah jalan hidup seseorang.

Turino tinggal di rumah kontrakan sederhana di Rawa Simprug, Grogol, Jakarta Selatan. Bersama keluarganya, Turno telah menempati rumah berukuran 3x9 itu sejak 2012. Sebelumnya, selama 16 tahun mereka tnggal menumpang di rumah saudaranya.

"Sampai saat ini belum bisa membahagiakan keluarga dan hanya bisa memberikan tempat berteduh di kontrakan ini," kata Turino, tak kuasa menahan tangis.

Oleh karena itu, ketika mengetahui anak keduanya diterima masuk UGM lewat jalur tanpa tes, Turino tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Walau harus berutang melunasi pembayaran asrama untuk tinggal Dea selama kuliah, Turino sangat bangga.

"Bangga Dea bisa masuk UGM, kami orang tua selalu mendukungnya," ujar Turino.

Dea sendiri mengaku telah berkeinginan melanjutkan kuliah sejak bangku SMP. Hanya saja, Dea tidak berani secara terang-terangan memaksakan keinginannya itu ke orang tuanya. Terlebih, dengan kondisi keluarga yang serba pas-pasan.

Namun, keterbatasan tidak mematahkan semangat gadis kelahiran Jakarta 28 Mei 2000 itu untuk mewujudkan mimpinya. Dea memiliki mimpi besar menjadi seorang pengusaha sukses. Karenanya, Dea giat belajar dan berusaha berprestasi.

"Yang saya lakukan adalah terus berusaha disertai doa, pasti Tuhan akan membukakan jalan," kata alumni SMA 48 Jakarta tersebut.

Hasil tidak mengkhianati usaha. Sejak SD, Dea selalu masuk dua besar, saat SMP dan SMA masuk 10 besar, serta peringkat tertinggi kedua USBN di sekolahnya untuk jurusan IPS. Dea turut meraih beasiswa Bidikmisi, dan dibebaskan sampai delapan semester.

Ia berharap, dengan kuliah nantinya dapat memperbaiki kehidupan keluarganya. Ada satu mimpi besar yang ingin segera diwujudkan jika telah sukses yaitu membangun rumah bagi kedua orang tuanya.

Selama kuliah, Dea berencana mencari pekerjaan sampingan. Hal ini terpaksa dilakukan agar tidak membebani orang tuanya dalam mencukupi kebutuhan selama kuliah. Sang Ibu, Sadati (48), menuturkan kalau Dea anak yang tekun dan gigih mengejar mimpi.

Walau kondisi keluarga pas-pasan, Dea memiliki tekad kuat menggapai impiannya masuk perguruan tinggi dan menjadi sarjana. Sempat berpikir keras tentang biaya Dea untuk berkuliah, Sadati ingin anaknya tidak berkesusahan.

"Waktu itu mikir susah gak ada biaya, tapi saya bilang ke Dea untuk terus semangat belajar biar nilainya bagus, supaya bisa mengajukan beasiswa masuk perguruan tinggi," ujar Sadati.

Ia bercerita, puterinya merupakan sosok yang mandiri sejak kecil. Bahkan, Dea sempat berjualan tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan sekolah, dengan berjualan pulsa di sekolah dan sering pula berjualan air minum kemasan di konser-konser musik.

Turino dan Sadati mengaku sangat bersyukur memiliki anak-anak yang mau hidup prihatin dan memahami kondisi keluarga. Mereka bangga berhasil membesarkan anak-anaknya dan saat ini, ada yang berhasil masuk perguruan tinggi.

"Harapannya, nantinya Dea dan semua anak-anak kami bisa sukses dan mengangkat derajat orang tua," kata dia.

Dea merupakan satu dari ribuan anak bangsa yang lahir dari keluarga kurang mampu. Namun, gadis ini berhasil membuktikan kemiskinan ataupun keterbatasan ekonomi bukan menjadi penghalang meraih asa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement