Senin 16 Apr 2018 12:39 WIB
Subuh Berjamaah Sambut Milad ke-75 UII

Subuh Berjamaah Bukan Sekadar Simbolis, Tapi...

Di Indonesia, gerakan keagamaan memang kerap menimbulkan gerakan kebangsaan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Diisi tausiyah Guru Besar UII Mahfud MD dan Rektor UII Nandang Sutrisno, shalat Subuh berjamaah jadi pembuka rangkaian milad ke-75 UII.
Foto: Universitas Islam Indonesia (UII)
Diisi tausiyah Guru Besar UII Mahfud MD dan Rektor UII Nandang Sutrisno, shalat Subuh berjamaah jadi pembuka rangkaian milad ke-75 UII.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Islam Indonesia (UII) terus mengangkat semangat keislaman dan menciptakan generasi Ulil Albab. Mengangkat tema Aktualisasi Dakwah Islamiyah Membangun Peradaban Era Milenial, shalat Subuh berjamaah digelar sebagai pembuka Milad ke-75 tahun UII.

Sebagai perguruan tinggi yang didirikan tokoh-tokoh Islam pendiri bangsa, UII terus berupaya mencetak generasi bangsa yang kuat karakter kebangsaan dan komitmen terhadap nilai-nilai keislaman. Corak kebangsaan yang senantiasa melekat terpancar pula dari perhatian penuh UII terhadap dakwah Islamiyah yang turut menjadi bagian catur dharma. Diikuti seluruh sivitas akademika, pemukulan bedug Rektor UII membuka Subuh berjamaah.

Rektor UII Nandang Sutrisna mengatakan, tema dakwah Islamiyah yang diambil bertujuan agar memancarkan akar keislaman. Baik lingkup nasional maupun internasional. "Kita ingin dakwah kita mengglobal dan menginternasional, kita ingin di semua sektor, UII melakukan internasionalisasi. Harapan kita, di bidang dakwah juga dapat dirasakan seluruh umat Islam," kata Nandang di Masjid Ulil Albab, Ahad (15/4).

Ia turut mengungkapkan apresiasnya terhadap gerakan shalat Subuh berjamaah yang diharapkan dapat menjadi budaya di masa depan. Bukan sekadar simbolis, diharapkan makna signifikan untuk kebangkitan UII dan umat Islam seluruh Indonesia.

Senada, Guru Besar UII, Mahfud MD, turut mengapresiasi inisiasi untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah tersebut. Ia menilai, di Indonesia, gerakan keagamaan memang kerap menimbulkan gerakan kebangsaan.

Termasuk, yang secara historis menjadi latar belakang berdirinya organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia. Tentunya, itu semua mewarnai suatu pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan.

"Contohnya, Muhammadiyah yang berdiri pada 1912, Ahmad Dahlan mengingatkan kita harus bangkit berdiri sebagai bangsa yang mandiri melalui pendidikan. Kemudian NU yang berdiri pada 1926 lebih menegaskan pada kesadaran membangun negara," ujar Mahfud.

Mahfud turut mengimbau jamaah agar senantiasa memperkuat persatuan dan tidak terjebak perdebatan yang memecah-belah umat. Dia merasa, itu pentingnya bisa bersatu dalam kehidupan bernegara.

Dia menuturkan, apa yang digambarkan pendiri UII untuk mendirikan institusi perguruan tinggi Islam harus dipahami sebagai wujud persatuan Islam. Karenanya, persatuan itu penting pula untuk dakwah. "Kalau kita sendiri tidak bersatu, bagaimana bisa mendakwahkan Islam," kata Mahfud.

Selain itu, dia memandang, pentingnya melihat akar sejarah pendirian UII, agar semangat pendiri UII senantiasa terefleksikan. UII yang didirikan dalam suasana peringatan Isra Miraj, memiliki filosofis yang tinggi.

Jika ditelusuri lagi, Mahfud berpendapat, momentum pendirian itu untuk mengambil tafaul, hikmah dari Isra Miraj yaitu perintah menegakan shalat. Dalam akhir ceramah, ia menekankan perbedaan sarjana dan cendekiawan.

Menurut Mahfud, sarjana hanyalah secarik kertas bukti profesionalitas. Sedangkan, yang dimaksud dengan cendekiawan merupakan pribadi yang merupakan Ulil Albab, yang tentunya diinginkan UII kepada tiap lulusannya.

"Yang diinginkan UII itu Ulil Albab, cendekiawan yang senantiasa berzikir di manapun, berfikir dan berdzikir itulah yang ingin dibangun UII," ujar Mahfud.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement