Jumat 03 Feb 2017 17:22 WIB

29 Peneliti Presentasikan Makalah Islam Asia Tenggara di UMM

Rep: Christiyaningsih/ Red: Dwi Murdaningsih
Aksi Super Damai 212 : Foto aerial ribuan umat Islam melakukan zikir dan doa bersama saat Aksi Bela Islam III di kawasan Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (2/12).
Foto: Republika/Prayogi
Aksi Super Damai 212 : Foto aerial ribuan umat Islam melakukan zikir dan doa bersama saat Aksi Bela Islam III di kawasan Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sebanyak 29 peneliti berkesempatan mempresentasikan papernya pada International Seminar on Islamic and Arabic Education in Southeast Asia (Seminar Internasional Pendidikan Islam dan Bahasa Arab di Asia Tenggara) yang diadakan oleh Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhamamdiyah Malang (UMM) selama dua hari (3-4 Februari) di Auditorium UMM.

Keseluruhan makalah mengulas tema-tema seputar dinamika pemikiran dan pengembangan studi Islam dan bahasa Arab di Asia Tenggara. Selain 29 peneliti itu, hadir pula Duta Besar(Dubes) Arab Saudi untuk Indonesia, Osamah Mohammed Alshuibi dan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama RI Amsal Bakhtiar.

Amsal Bakhtiar menyampaikan materi 'Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Peluang, Harapan, dan Tantangan dalam Perkembangan Globalisasi'. Menurutnya ada dua problem utama penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, masih kurangnya angka partisipasi kasar (APK) lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Dalam catatan Amsal, kurang dari 32 persen APK SLTA yang mampu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

“Sebanyak 10 persen dari yang 32 itu ada di perguruan tinggi agama Islam. Artinya, baru sekitar 720 ribu jumlah mahasiswa perguruan tinggi keagamaan Islam,” kata Amsal.

Anak-anak usia kuliah, yakni 18 sampai 23 tahun, berjumlah sekitar 21 juta orang. Tetapi hanya tujuh juta yang mampu melanjutkan ke bangku kuliah. Dari jumlah tersebut hanya 700 ribu yang memilih perguruan tinggi Islam.

Problem kedua adalah masih rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi Islam, sehingga daya saing lulusan masih sangat bervariasi. Berdasarkan data Diktis, jumlah program studi agama Islam di Indonesia sebanyak 3.600.  Meski jumlahnya banyak, namun kualitasnya amat jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

"Gap ini yang kemudian menjadi perhatian kita. Tantangan kedua ini jauh lebih berat dibanding tantangan pertama,” paparnya.

Atas dasar tersebut, lanjut Amsal, Diktis mencanangkan program Rukun Diktis. Yakni, pertama meningkatkan kualitas akademis yakni yakni meningkatkan kemampuan para pengajar. “Karena ustadz atau pengajar itu lebih penting daripada metode. Salah satu program yang digiatkan Diktis yakni dengan menciptakan lima ribu doktor,” ujarnya.

Langkah kedua menurut Amsal, dengan meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Langkah ketiga yakni meningkatkan riset dan publikasi. Langkah keempat yakni pengunaan pada pendanaan. "Muhammadiyah menjadi satu-satunya andalan kita dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Terakhir, yang harus jadi perhatian yakni infrastruktur,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement