Kamis 24 Jul 2014 13:37 WIB

Tiga Tantangan Ekonomi Jokowi-JK

Rep: Elba Damhuri/ Red: Erik Purnama Putra
 Joko Widodo dan Jusuf Kalla menghadiri rapat rekapitulasi penghitungan suara nasional dan luar negeri pemilihan Presiden 2014 di gedung KPU, Jakarta, Selasa (22/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Joko Widodo dan Jusuf Kalla menghadiri rapat rekapitulasi penghitungan suara nasional dan luar negeri pemilihan Presiden 2014 di gedung KPU, Jakarta, Selasa (22/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak hal penting dan mendesak yang harus dihadapi presiden dan wakil presiden baru. Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Muslimin Anwar menyebutkan, sedikitnya ada tiga tantangan ekonomi mendasar yang harus dipenuhi Pemerintahan Jokowi-JK.

Pertama, kata Muslimin, mengevaluasi APBNP 2014 dan RAPBN 2015. Langkah ini diperlukan untuk memastikan realistis tidaknya anggaran belanja tersebut terhadap visi-misi serta arah kebijakan ekonomi selama masa kampanye.

Jokowi dan Presiden SBY, menurut Muslimin, harus berbicara serius mengenai pengelolaan fiskal. "Khususnya langkah-langkah yang telah disepakati terkait penerimaan pajak dan pengendalian volume konsumsi BBM bersubsidi," kata pegiat ekonomi di Muhammadiyah itu di Jakarta, Kamis (24/7).

Muslimin mengingatkan potensi batasan volume 46 juta kiloliter BBM bersubsidi yang ditetapkan akan terlewati sekitar November 2014. Pemerintahan SBY dan presiden baru harus berbicara untuk mencari jalan keluar atas masalah ini.

Kedua, tim ekonomi Kabinet SBY dan Jokowi harus duduk bareng dengan BI untuk mempertajam upaya pengelolaan defisit transaksi berjalan. Muslimin menjelaskan upaya ini meliputi program konkret mempercepat penyelesaian negosiasi terkait implementasi UU Minerba.

Selain itu, kata dia, perlu ketegasan dalam mendorong penggunaan jasa pengangkutan dan asuransi nasional untuk menekan defisit neraca jasa

Tantangan ketiga, Muslimin mengatakan perlunya arah yang jelas dalam mengelola utang luar negeri (ULN) agar lebih sehat dan tidak mengganggu stanilitas makroekonomi. Perlu ditegaskan bahwa ULN memang diperlukan dalam pembiayaan pembangunan namun harus selektif agar potensi risiko dapat diminimalkan

"Diharapkan, dengan begitu inflasi tahun ini tetap terjaga di bawah 5,5 persen dan pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,1-5,5 persen," kata Muslimin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement