Kamis 17 Jul 2014 19:12 WIB

Burhanuddin: Quick Count Harus Tunggu KPU, Keliru !!!

Rep: Andi Mohammad Ikhbal/ Red: Muhammad Fakhruddin
Burhanuddin Muhtadi
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Burhanuddin Muhtadi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi menilai adanya quick count dapat menjadi alat untuk mendeteksi kecurangan real count penyelenggara pemilu. Prediksi siapa kandidat yang menang hanya dianggap bonus dari misi suci lembaga survei.

Dia mengatakan, proses perhitungan suara KPU memakan waktu yang panjang dan berjenjang. Mulai dari TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Setiap tahapan perhitungan terdapat potensi kecurangan dan manipulasi suara, berbeda dengan hitung cepat. "Kalau 'quick count' itu kan langsung dari TPS. Dari tangan pertama, langsung direkapitulasi, dan diketahui hasilnya. Sedangkan 'real count' banyak tangan yang terlibat," kata Burhanudin dalam diskusi bertajuk 'Quick Count, Etika Lembaga Riset, dan Tanggung Jawab Ilmuwan' di Universitas Pramadina, Jakarta Selatan, Kamis (17/7).

Dia menambahkan, seharusnya perhitungan cepat lembaga survei dapat memberikan kontrol pada proses rekapitulasi KPU, bukannya terbalik. Menurut dia, apa yang dikatakan, Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) bahwa hasil quick count harus menunggu putusan KPU adalah hal keliru.

Sebab, keberadaan mereka sebagai lembaga survei harusnya dapat membantu mengawal proses demokrasi ini. Sayangnya, baik JSI dan Puskaptis justru menyerahkan hasil pilpres ini kepada KPU yang dinilai rawan penyimpangan pada tingkatan bawahnya. "Jokowi-JK hanya punya saksi di TPS 83 persen, sedangkan Prabowo-Hatta 89 persen. Itu hanya TPS, bagaimana tingkatan atas? Di sanalah peran lembaga survei melalui 'quick count'," ujar dia.

Selain itu, antar lembaga survei seharusnya tidak memiliki selisih perolehan hasil suara yang jauh, kecuali sebatas /margin eror/. Siapapun penyandang dana lembaga tersebut, mereka harus berani menampilkan data dengan konsekuensi apapun nantinya. "Misalkan Prabowo-Hatta yang unggul, saya akan katakan. Meskipun, penyandang dana mengancam tak akan melunasi pembayarannya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement