Selasa 04 Sep 2018 21:40 WIB

Komite III DPD RI Soroti Perlindungan Pekerja Migran

Pergerakan perekonomian dari hasil PMI lebih banyak di desa-desa.

 Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan antara lain Komnas Perempuan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Migran Care membahas isu krusial perlindungan terhadap pekerja migran.
Foto: DPD RI
Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan antara lain Komnas Perempuan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Migran Care membahas isu krusial perlindungan terhadap pekerja migran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan Pekerja Migran Indonesia (PMI) seakan tidak pernah surut. Hal tersebut karena belum ada jaminan perlindungan bagi pekerja migran ini. Menyikapi hal tersebut, Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan antara lain Komnas Perempuan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Migran Care membahas isu krusial perlindungan terhadap pekerja migran.

“Pergerakan perekonomian dari hasil PMI lebih banyak di desa-desa. Namun sayangnya tidak di imbangi oleh perlindungan yang memadai. Contohnya masih saja banyak kasus yang menimpa PMI baik itu sebelum atau sesudah bekerja,” ucap Ketua Komite III DPD RI, Dedi Iskandar Batubara di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (4/9).

Menurutnya, dari hasil pengawasan Komite III DPD RI pada 2017 lalu, masih banyak permasalahan baik itu dari rekrutmen seperti dokumen dan belum lagi permasalahan penempatan. "Begitu juga dengan adanya moratorium justru menambah pekerja migran ilegal,” tegas senator asal Sumatera Utara itu.

Sementara itu, Anggota Komite III DPD RI Abdul Azis Khafia menilai sejauh ini PMI dipandang sebelah mata. Hal ini karena memandang pekerja migran dari segi komoditas yang pertimbangannya penyumbang jasa terbesar bukan dari sisi kemanusiaannya.

Senator asal DKI Jakarta itu juga memandang bahwa pemerintah selama ini sifatnya reaktif, padahal justru seharusnya pemerintah bersikap antisipatif. “Selama ini ketika terjadi kasus, pemerintah baru bertindak. Ini kan terlambat ketika ada kasus di suatu negara,” terang dia.

Selain itu, Anggota DPD RI asal Kalimantan Barat Maria Goreti menyoroti dana desa yang seharusnya bisa membangun pemberdayaan masyarakat. Selama ini dana desa difokuskan untuk pembangunan fisik namun tidak menyentuh pada pemberdayaan masyarakat.

“Padahal dana desa sangat besar seharusnya bisa menjadi pemberdayaan bagi perempuan. Ini juga menjadi perhatian kita sehingga tidak banyak masyarakat kita yang berlomba-lomba keluar negeri,” kata Maria Goreti.

Dikesempatan yang sama, Peneliti LIPI Paulus Rudolf Yuniarto menjelaskan dari 2017 hingga kini titik lemah kebijakan perlindungan ada pada pra penempatan. Hal itu meliputi pola rekrutmen, informasi kerja, dan manipulasi data pekerja.

“Saat ini masih terjadi, namun ketika UU No.18 Tahun 2017 diberlakukan seharusnya bisa diantisipasi,” ujarnya.

Tidak hanya itu, lanjutnya, masa penempatan dan pembinaan juga menjadi faktor lemahnya perlindungan. Untuk pembinaan menurut Paulus, selama ini sifatnya hanya sekali saja belum berkesinambungan.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah memaparkan bahwa isu kekerasan perempuan sebagai penyebab migrasi sering diabaikan dalam analisis produksi kebijakan. Padahal, kekerasan terhadap perempuan ada di setiap tahap migrasi.

“Sehingga kekerasan migran semakin kompleks seperti drug trafficking, rentan dijebak sindikat gerakan radikal, dan eksploitasi siber,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement