Selasa 04 Sep 2018 18:09 WIB

Teknik UGM Bangun Hunian Sementara di Lombok

Pembangunan rumah transisi dilakukan sembilan mahasiswa KKN Peduli Bencana Lombok.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
 Pembangunan hunian transisi (huntras) yang dilakukan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Nusa Tenggara Barat.
Foto: Dokumen.
Pembangunan hunian transisi (huntras) yang dilakukan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Nusa Tenggara Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berinisiatif membangun rumah hunian transisi atau huntras. Rumah sementara ini dibangun di lokasi rumah warga dengan memakai bahan baja ringan dengan pondasi besi baja.

Bencana gempa bumi yang melanda Nusa Tenggara Barat (NTB) telah meluluh lantakkan perekonomian daerah Lombok utara. Hampir seluruh bangunan rumah dan gedung mengalami rusak berat.

Di Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara misalnya, hampir semua bangunan kini rata dengan tanah. Sisa bangunan yang dianggap tidak layak ditempati itu bahkan dirobohkan karena berisiko akan runtuh bila kembali gempa.

Alhasil, banyak warga memilih tinggal dan hidup di tenda pengungsian untuk meminimalisir risiko. Setiap hari, mereka memilah dan menyelamatkan beberapa sisa bangunan yang dianggap masih bisa dipakai.

Semisal, material batu bata, kusen jendela, dan pintu. Untuk meningkatkan rasa kenyamanan warga selama tinggal di tenda pengungsian, FT UGM membangun hunian transisi. Huntras berukuran 3x6 meter.

Pembangunan rumah transisi ini dilakukan sembilan mahasiswa KKN Peduli Bencana Lombok UGM. Tiap hari, mereka menyurvei rumah warga yang akan dibangun huntras, membantu membersihkan sisa-sisa puing reruntuhan, dan sosialisasi ke warga.

Salah satu mahasiswa, Farid Fadhilah mengatakan, ada 50 rumah yang rencananya dibangun di Dusun Karang Pansor dan Dusun Karang Petak. Mereka turut serta melakukan pendataan terkait rumah-rumah yang dianggap paling membutuhkan. "Kita meminta data pada kepada dusun," kata Farid, Senin (3/9).

Ia menilai, tidak mudah menyosialisasikan program hunian transisi ini, karena yang akan dibangun hanya 50 buah rumah dari dua dusun. Untuk satu dusun, ada hampir 300-450 kepala keluaga yang rata-rata rumah mereka sudah dirobohkan.

Awalnya, lanjut Farid, memang ada penolakan dari sebagian warga karena merasa tidak enak dengan warga lain yang tidak dibangunkan. Tapi, setelah dilakukan pendekatan akhirnya mau. "Warga mulai antusias dan ikut gotong royong," ujar Farid.

Untuk proses pengerjaan, FT UGM mendatangkan para tukang las yang proses pengerjaannya diawasi para mahasiswa. Sedangkan, untuk pengerjaan dinding rumah yang menggunakan triplek bisa dilakukan sendiri warga.

Material disediakan Fakultas Teknik UGM yang dibangun melalui dana bantuan Kementerian Perhubungan. Dosen pembimbing lapangan KKN Peduli Bencana, Azhar Saputra menuturkan, huntras memakai desain dari FT UGM.

Konsepnya diharapkan bisa menjadi bagan dari material bangunan hunian tetap warga selanjutnya. Sebab, pengalaman selama di daerah yang terkena gempa, banyak bekas bangunan hunian sementara tidak digunakan lagi.

Selain itu, kehadiran bangunan ini bisa melindungi warga dari panas terik matahari dan hujan. Diharapkan, masyarakat tidak lagi tinggal di bawah tendah saat musim hujan.

Proses pengerjaan satu buah unit rumah membutuhkan sekitar 6-7 jam. Sedangkan, total biaya pengerjaan satu unit rumah sebesar Rp 13,5 juta. Pengerjaan turut menggandeng Kukuh Sugiarto, pemilik perusahaan kontraktor.

Kukuh merupakan lulusan Prodi Teknik Sipil UGM. Menurut cerita Kukuh, keterlibatannya dalam pembangunan ini berawal dari inisiatifnya menghubungi salah seorang dosen Sekolah Vokasi UGM.

Menurut Kukuh, sementara ini baru lima buah rumah yang sdah selesai dibangun. Selanjutnya, diharapkan mahasiswa-mahasiswa yang ada bisa menjadi supervisi dalam setiap proses pengerjaan yang dilakukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement