Selasa 21 Aug 2018 23:14 WIB

Mendikbud Mulai Rancang Kurikulum Mulok Bahasa Daerah

Penyerapan bahasa daerah juga langkah tepat untuk melestarikan bahasa minor

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan akan mulai merancang kurikulum muatan lokal (mulok) bahasa daerah untuk berbagai daerah di Indonesia. Mengingat hingga saat ini kurikulum mulok bahasa daerah belum terbentuk, dan penyerapan bahasa daerah dinilai bisa mempermudah perancangan kurikulum tersebut.

"Ya, sebetulnya memang sama (tanggungjawab) daerah, tapi kan soal kurikulum itu memang diatur oleh Puskurbuk sebagai Lembaga yang diberi mandat," jelas Muhadjir di Gedung A Kemendikbud, Senin (20/8).

Dia mengklaim, penyerapan bahasa daerah juga langkah tepat untuk melestarikan bahasa minor -bahasa daerah yang memiliki kosa kata kurang dari seribu dan ruang lingkupnya terbatas- agar tidak punah. Terlebih bahasa minor yang ada di Indonesia sangat banyak sehingga tidak bisa dibiarkan berjalan secara alamiah, namun juga harus dirancang by design.

“Penyerapan bahasa itu tidak hanya by nature harus ada design, apalagi maaf kalau saya sebut wilayah di Indonesia Timur itu sangat banyak bahasa lokal (minor), yang kalau tidak dirancang secara sungguh-sungguh agar ada proses saling menyerap ini maka dikhawatirkan punah,” kata dia.

Selain merancang kurikulum, Muhadjir juga meyakini proses penyerapan bahasa itu akan bisa membentuk bahasa daerah Papua. Mengingat, hingga saat ini di Papua tidak memiliki bahasa daerah.

“Jadi kan nanti diajarkan kepada peserta didik, jadi walau beda bahasa minornya tetapi karena sudah (melalui proses penyerapan bahasa) ada bahasa induknya, mereka (siswa) bisa saling memahami sehingga nanti bisa berkomunikasi,” kata Muhadjir.

Dia mengatakan, perancangan kurikulum Mulok bahasa daerah tidak bisa sembarangan karena harus melibatkan berbagai pihak mulai dari ahli bahasa, akademisi, hingga masyarakat penutur bahasa lokal (minor) yang ada. Karena itu, dalam Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara yang diselenggarakan Badan Bahasa Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bekerjasama dengan Universitas Sebelas Maret pada Rabu (8/8) lalu Mendikbud meminta agar akademisi dan pihak-pihak yang bersangkutanuntuk merumuskan hal-hal tersebut.

“Ini sangat vital, karena jika kita ingin membangun negara apalagi wilayah Timur, tidak mungkin jika kita tidak mengembangkan bahasa juga. Jadi kita selama ini jangan beranggapan yang dibangun itu harus infrastruktur, harus diikuti juga pembangunan nonfisik, yaitu budaya dan salahsatu budaya itu adalah bahasa,” tegas Muhadjir.

Namun begitu, Ketua Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Universitas Indonesia (UI) Dwi Puspitorini menilai wacana penyerapan Bahasa daerah tidak tepat. Karena menurut dia, penyerapan bahasa terjadi secara alamiah dan tidak bisa diatur ataupun direkayasa.

Dwi juga menjelaskan, penyerapan bahasa lokal terjadi bergantung pada faktor-faktor yang memengaruhinya. Misalnya tergantung pada kebutuhan penutur, pengaruh bahasa satu dan lainnya, hingga bergantung kontak bahasanya.

“Titik pangkalnya kan bahasa itu bukan benda mati. Jadi dia tidak bisa diatur bahasa itu harus di sini, harus di sana, kalau misalnya harus dikumpulkan dalam satu bahasa induk pun saya rasa tidak bisa mengumpulkan disatu wilayah begitu ya. Intinya tidak bisa direkayasa,” jelas Dwi saat dihubungi Republika, Senin (20/8).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement