Jumat 29 Jun 2018 07:32 WIB

Mendengar Kumandang Adzan Maghrib di Masjid Saint Petersburg

Masjid yang ketika dibuka pada 1913 itu menjadi yang terbesar di Eropa.

Masjid Agung Saint Petersburg.
Foto: REPUBLIKA/Citra Listya Rini
Masjid Agung Saint Petersburg.

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Citra Listya Rini, dari Saint Petersburg, Rusia.

SAINT PETERSBURG  — Di tengah kesibukan meliput Piala Dunia 2018, saya menyempatkan diri mengunjungi Masjid Agung Saint Petersburg atau yang juga dikenal dengan Masjid Biru. Mengunjungi masjid berkubah biru ini memang ada dalam daftar liputan saya selama di Rusia. 

Setelah bertanya kepada mesin Google, saya pun langsung menuju Masjid Biru. Dari arena Fan Fest di dekat Stasiun Metro Nevsky Prospekt, saya bergerak menuju Stasiun Metro Gorkovskaya. Keluar stasiun, kira-kira saya berjalan selama 10 menit dan kubah Masjid Biru sudah terlihat dari kejauhan. 

Langkah kaki langsung saya percepat mengingat waktu shalat Maghrib di Saint Petersburg tak lama lagi. Kebetulan saya ingin menyempatkan diri shalat berjamaah di dalam masjid yang ketika dibuka pada 1913 itu menjadi yang terbesar di Eropa. 

photo
Masjid Agung Saint Petersburg

Sebelum memasuki area masjid, saya menyempatkan diri mengambil sejumlah foto dan merekam video Masjid Biru untuk keperluan reportase berita. Kira-kira 10 menit saya menghabiskan waktu untuk sesi dokumentasi. 

Setelah memasuki gerbang masjid yang berjeruji hitam itu, saya disambut oleh seorang satpam. Tanpa basa-basi saya bertanya di mana tempat berwudhu dan area shalat bagi jamaah perempuan. Sayang, pria paruh baya bernama Sergey itu ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Saya pun lagi-lagi harus menggunakan kamus online di ponsel. 

Setelah bertanya dalam Bahasa Rusia, satpam itu langsung menunjukkan arah tempat wudhu kepada saya. Tidak ada satu pun jamaah perempuan ketika saya mengambil wudhu. Pun, ketika saya memasuki area shalat Masjid Biru, tak ada satu pun jamaah perempuan. Saya bingung harus shalat di sebelah mana, beruntung seorang pria memerhatikan gerak-gerik kebingungan saya. 

Sama seperti Sergey, pria berkacamata itu juga tidak bisa berbicara dalam Bahasa Inggris. Dia hanya menuntun saya ke area shaf shalat jamaah perempuan yang minim lampu penerangan. Pun, tak ada mukena yang disediakan laiknya masjid-masjid di Tanah Air. Saya hanya bermodalkan celana panjang dan kerudung yang saya bawa dari Indonesia. 

photo
Masjid Agung Saint Petersburg

Tak lama setelah duduk manis di area shaf jamaah perempuan, adzan Maghrib pun berkumandang.  "Allaahu Akbar Allaahu Akbar (2x). Asyhadu an laa illaaha illallaah (2x). Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah (2x). Hayya 'alas-shalaah (2x). Hayya 'alal-falaah (2x). Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (1x). Laa ilaaha illallaah (1x)".

Rasa lelah akibat berkeliling kota Saint Petersburg meliput Piala Dunia pun langsung sirna. Kumandang adzan Maghrib tersebut terdengar begitu indah di telinga saya. Seusai adzan Maghrib dan iqomah selesai ternyata tidak ada juga jamaah perempuan yang datang ke Masjid Biru. Hanya jamaah laki-laki yang mengisi shaf jamaah di masjid yang dibangun seberang Benteng Peter dan Paul.

Masjid Biru dibangun di Kota Saint Petersburg seberang Benteng Peter dan Paul. Pembangunan masjid ini merupakan hadiah emir kota jalur sutra Bukhara yang menjadi bagian dari kerajaan Rusia. Bagian luar masjid ditutupi granit abu-abu. Sedangkan ubinnya adalah keramik biru pirus. Atas kubah juga terdapat mozaik berwarna biru dengan puncak menara setinggi 39 meter.

Interiornya dilapisi dengan marmer hijau dan bertuliskan kaligrafi ayat Alquran. Pekerja untuk membangun masjid ini didatangkan langsung dari Asia Tengah. Selama Perang Dunia Kedua, masjid ini ditutup oleh kaum Bolshevik dan digunakan sebagai gudang peralatan medis. Atas permintaan presiden Indonesia Sukarno, masjid tersebut dikembalikan ke komunitas Muslim di kota tersebut pada1956.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement