Selasa 29 May 2018 08:00 WIB

Nilai Siswa Anjlok, KPAI Desak Kemendikbud Evaluasi UN

Rata-rata nilai UN tahun ini turun dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Rep: Adinda Pryanka, Mabruroh/ Red: Andri Saubani
Sejumlah siswa SMP berkebutuhan khusus mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMP Inklusi YBPK (Yayasan Badan Pendidikan Kristen) Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (23/4).
Foto: Antara/Prasetia Fauzani
Sejumlah siswa SMP berkebutuhan khusus mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMP Inklusi YBPK (Yayasan Badan Pendidikan Kristen) Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (23/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, Retno Listyarti mendesak Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan evaluasi kebijakan Ujian Nasional (UN). Hal ini terkait dengan anjloknya hasil UN pada 2018.

"Hasil yang anjlok ini sudah diprediksi banyak orang, mengingat begitu banyak siswa SMA dan SMP peserta UN tahun 2018 yang mengeluhkan sulitnya soal UNBK," ujar Retno dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (29/5).

Keluhan ini bahkan diunggah ke berbagai media sosial dan sempat viral selama dua pekan lebih. Dalam unggahannya, para peserta UN tahun 2018 mengeluhkan sulitnya soal UNBK, khususnya untuk soal esai, yang menurut pihak Kemendikbud diklaim sebagai soal higher order thinking skill (HOTS).

Padahal, menurut para peserta UN, soal jenis itu tidak pernah diperkenalkan selama menempuh pembelajaran tiga tahun. Bahkan, beberapa materi tidak sesuai dengan yang mereka pelajari dan tidak ada pula di kisi-kisi UN yang mereka dapatkan.

Berkaitan dengan soal UN pada 2018 yang dikeluhkan para peserta, sudah semestinya pihak Kemdikbud mau mendengar dan bersedia dengan besar hati mengevaluasi soal serta pembuat soalnya. "Bukan malah menyalahkan anak-anak dengan istilah cengeng dan malas," ucap Retno.

KPAI juga mengingatkan kembali keputusan Mahkamah Agung RI pada 2009 terhadap gugatan UN oleh warga negara. Pada prinsipnya, pengadilan memerintahkan kepada negara untuk tidak melaksanakan UN sampai negara mampu memenuhi tiga prasyarat.

Yakni, pemerataan kualitas tenaga pendidik di seluruh Indonesia, memenuhi pemerataan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas di seluruh Indonesia, dan meratanya atau terjangkaunya teknologi komunikasi dan informasi di berbagai sekolah di seluruh Indonesia. Sehingga, anjloknya hasil UN tahun 2018 disumbangkan sebagian besar oleh tiga prasyarat tersebut.

"KPAI menilai prasyarat tersebut diduga kuat belum terpenuhi oleh negara, dengan parameter sebagaimana ditentukan oleh Permendikbud tentang delapan standar nasional pendidikan (SNP)," ucap Retno.

Selain belum terpenuhinya ketiga syarat tersebut, diduga kuat anjloknya nilai UN juga disumbang oleh dinaikkannya tingkat kesulitan soal tanpa disertai pembaharuan pembelajaran bernalar di ruang-ruang kelas. Reformasi pembelajaran di kelas haruslah dimulai dari para guru.

Para guru harus disiapkan terlebih dahulu oleh Kemdikbud, Kementerian Agama dan Dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia untuk mampu mengajar HOTS dan melatih soal HOTS. Apabila gurunya sudah mampu melaksanakan pembelajaran HOTS maka adil jika muridnya diuji dengan soal HOTS.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkapkan rata-rata hasil UN SMP pada 2018 terjadi penurunan jika dibandingkan pada 2017 lalu. Penurunan terjadi di mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia dan Matematika.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Totok Suprayino mengatakan, mapel rata-rata Bahasa Indonesia dari yang 70,79 persen pada tahun 2017 kini 66,97 persen pada 2018. Sementara itu, mapel Matematika menjadi mapel yang mengalami penurunan cukup tinggi. Rerata Matematika pada 2017 48,63 persen, tahun ini menjadi 44,38 persen.

Totok menolak jika penurunan nilai rata-rata tersebut diartikan dalam makna sebenarnya. Menurut dia, dengan makin banyaknya sekolah yang melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), kecurangan akan makin sulit dilakukan sehingga hasilnya tidak terdistorsi dengan kecurangan.

"Bukan menurun, tapi terkoreksi. Kenapa dikatakan terkoreksi, karena nilai yang tahun lalu seolah-olah tinggi itu bukan (nilai) sesungguhnya, nilai palsu karena diperoleh dengan cara curang, misalnya," kata Totok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement