Sabtu 19 May 2018 00:02 WIB

Ketika Keberlangsungan Ujian Nasional Kembali Digugat

UN yang selama ini digelar bisa dikategorikan pada pelanggaran terhadap anak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Ujian Nasional
Foto: ISTOCK PHOTO
Ujian Nasional

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Keberlangsungan Ujian Nasional (UN) sebagai alat ukur pendidikan Indonesia berskala nasional kembali digugat. Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Lystiarti menilai, UN yang selama ini digelar bisa dikategorikan pada pelanggaran terhadap anak.

Salah satu yang dijadikan dasar atas statemennya yaitu karena belum lama ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan mempertimbangkan opsi untuk mengembalikan UN sebagai penentu kelulusan. Pertimbangan itu muncul, sebagai salah satu solusi atas menurunnya hasil UN tahun ini. Menurut Retno, hal itu sama sekali bukan solusi yang tepat. Tetapi, malah terkesan menyepelekan kerja-keras siswa.

"Ini sebenarnya perspektif yang begini itu sama halnya dengan tidak memberikan penghargaan terhadap anak karena berdasarkan laporan yang masuk ke KPAI, mereka (siswa) sudah belajar dan bekerja keras," kata Retno dalam sebuah diskusi di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Cikini, Jakarta, Jumat (18/5).

Karenanya, dia menegaskan, penurunan rerata nilai UN tahun ini bukan karena siswa malas dan tidak serius mengerjakan UN. Namun, karena mulai diterapkannya soal bernalar tinggi atau High Order Thingking Skills (HOTS) dalam soal UN tahun ini.

Dia mengungkapkan, pada dasarnya KPAI mendukung soal HOTS diujikan kepada siswa. Namun yang perlu digarisbawahi, kata Retno, apakah selama ini pemerintah telah memperkenalkan soal HOTS secara massif kepada seluruh siswa atau belum.

Informasi dari siswa SMP yang mengadu kepada KPAI, ditemukan fakta baru bahwa ada soal HOTS yang diujikan untuk SMP adalah soal untuk jenjang SMA. Lalu ada juga soal yang narasinya menghitung kandungan salju. "Lho kan soal HOTS itu soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, tapi salju kan adanya di Eropa bukan di Indonesia. Jadi keliru," jelas Retno.

Sehingga, Retno berpendapat, UN seharusnya tidak dijadikan dasar penilaian siswa. Karena menurut dia, akan lebih tepat jika UN dijadikan sebagai cerminan kinerja pemerintah selama ini. Jadi, ketika hasil Ujian Nasional anjlok bisa diartikan kinerja pemerintah untuk memajukan pendidikan pun kurang berhasil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement