Rabu 25 Apr 2018 00:17 WIB

Ombudsman Nilai UNBK Dipaksakan untuk Sekolah Tertentu

Ada sekolah-sekolah yang tidak siap melaksanaan UNBK.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Andri Saubani
Sejumlah pelajar saat mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Fatahillah, Jakarta, Senin (23/4).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pelajar saat mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Fatahillah, Jakarta, Senin (23/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia menilai pemerintah terlalu memaksakan pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) pada sekolah yang belum siap. Komisioner Ombudsman Ahmad Suaedy mengatakan, berdasarkan pantauan perwakilan Ombudsman di beberapa lokasi, ada beberapa hasil yang ditemukan.

"Pertama pemerintah memaksakan adanya UNBK pada sekolah-sekolah yang belum siap," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (24/4).

Ahmad menceritakan, adanya insiden sekolah yang mengalamimati listrik seperti yang sempat terjadi pada pelaksanaan UNBK di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) kemarin. Ia mengatakan, pemerintah memang tidak memaksa sekolah melaksanakan UNBK tetapi di satu sisi membuat kriteria sepertiakreditasi dan lainnya.

Sehingga, sekolah-sekolah atau bahkan orang tuanya ingin dan memaksamurid-muridnya agar ikut UNBK padahal sarana dan prasarananya belum mampu. Konsekuensinya, kata dia, ada murid yang harus naik bus selama berjam-jam atau sampai ada yang menginap demi mengikuti UNBK.

"Itu kan tidak baik, jadi saran saya semenjak kemarin adalah pemerintah membuat klasifikasi (sekolah) terlebih dahulu," ujarnya.

Ahmad menyontohkan, klasifikasi pertama ada sekolah yang sudah advance dan tidak memiliki masalah dengan listrik, komputer, dan jaringan maka sekolah ini bisa melaksanakan UNBK. Klasifikasi kedua yaitu, daerah-daerah yang relaif sudah siap, misalnya ada kabupaten yang 80 persen siap melakukan UNBK maka ini harus dihitung kesiapannya.

Ketiga, klasifikasi daerah tertinggal. Ombudsman mengusulkan pemerintah membuat klasifikasi dan sekolah di daerah yang tertinggal.

"Karena saya dan teman-teman menemukan anak-anak di daerah terpencil harus menunggu kapal kecil perahu dan menaikinya dengan risiko tinggi hanya untuk ikut ujian UNBK. Bagi saya ini tidak adil meskipun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) selalu bilang bahwa ada peningkatan tidak menyontek, Kemendikbud menyiksa anak-anak di daerah terpencil ini," ujarnya.

Hasil klasifikasi sekolah ini kemudian bisa diwujudkan dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud). Pemerintah juga diminta melengkapi fasilitas komputer dan jaringan internet di sekolah-sekolah. Kemudian pemerintah diminta memberikan prioritas pada daerah yang belum siap ini untuk diberikan fasilitas supaya lebih siap misalnya dibantu dengan hibah dan komputer, hingga akses internet.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement