Selasa 24 Apr 2018 16:05 WIB

Ke Belanda Lewat Menteng

Di era kolonialisme, bahasa Belanda hanya untuk kalangan Belanda.

Euro Management
Foto: Priyantono Oemar/ Republika
Euro Management

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar, wartawan Republika

RM Tirto Adi Soerjo pernah mengalami nasib nahas setelah kurang ajar terhadap pejabat Belanda. Orang Jawa berbicara dalam bahasa Belanda dengan pejabat Belanda merupakan kekurangajaran di era kolonialisme. Belanda tak ingin pribumi bertindak seperti itu.

Mereka selalu membuat garis tegas, bahasa Belanda hanya untuk kalangan Belanda, sedangkan dengan pribumi menggunakan bahasa Melayu babu. Itulah yang dikuasai Belanda, bahasa Melayu kasar yang digunakan oleh babu.

Kartini bercerita, RM Tirto Adi Soerjo --di kemudian hari dikenal sebagai pendiri Sarikat Dagang Islam dan koran Medan Prijaji-- merupakan lulusan terbaik dari Hoogere Burgerschool (HBS) se-Jawa. HBS adalah pendidikan menengah umum yang setara dengan SMP dan SMA pada zaman Hindia Belanda. Sekolah ini diperuntukan bagi orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.

Gara-gara berani berbicara dalam bahasa Belanda dengan Residen Semarang, RM Tirto Adi Soerjo diangkat sebagai klerk (juru tulis) di daerah pegunungan. Di kemudian hari, teman sekolahnya --yang orang Belanda-- dengan kepandaian di bawah kepandaiannya menjadi atasannya di daerah perkebunan itu.

"Pemuda itu, yang dahulu nomor satu dalam segala-galanya, di hadapan kawan sekolahnya yang bodoh dulu kini ia harus jalan merangkak di lantai, harus bicara dalam bahasa Jawa tinggi, sedang si kulit putih itu sendiri bicara bahasa Melayu babu," tulis Kartini dalam suratnya kepada sahabatnya, Estelle Zeehandelaar, 12 Januari 1900.

Kartini mencatat, bangsa Belanda tak ingin bangsa Indonesia menguasai bahasa Belanda. Sebab, hal itu bisa menghilangkan kekuasaan orang Belanda terhadap orang Indonesia.

"Rassuperioritet bangsa Belanda akan lenyap. Dan orang Belanda sangat takut akan menjadi sama derajatnya dengan bangsa inlander," tulis Sutan Takdir Alisjahbana pada 1932.

Benedict Anderson mencatat pendidikan bahasa Belanda yang serius baru dimulai di awal-awal abad ke-20, setelah Belanda bercokol 300 tahun di Nusantara. Dua abad sebelumnya, VOC juga tak melihat manfaat untuk pendidikan bahasa Belanda di sini.

Pada 1930-an, menurut Anderson dalam catatan kaki di bukunya yang berjudul Di Bawah Tiga Bendera, dari 70 juta penduduk Hindia Belanda paling banter hanya separuhnya yang bisa berbahasa Belanda. Tetapi, kondisi itu segera lenyap ketika Jepang datang.

"Tak ada lagi yang mengucapkannya di depan umum sejak 1942," tulis Anderson. Di rumah-rumah kalangan elite memang masih digunakan hingga 1960-an, untuk kemudian hilang sama sekali dari bumi Indonesia. Yang ada tinggal kata-kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Belanda.

Ada banyak kata Indonesia yang berasal dari bahasa Belanda. Selot, misalnya, berasal dari sloten, tetapi selot tak diberi keterangan berasal dari bahasa Belanda di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI hanya mencatat 146 kata dari bahasa Belanda, tetapi belum mencatat voorrijder, misalnya, meski kata itu sudah jamak digunakan di sini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement