Thursday, 16 Syawwal 1445 / 25 April 2024

Thursday, 16 Syawwal 1445 / 25 April 2024

Pancasila Belum Digunakan Sebagai Sumber Pembentukan Hukum

Rabu 18 Apr 2018 16:33 WIB

Red: Gita Amanda

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menjadi keynote speaker di acara Seminar Legislatif bertemakan “Pancasila Sumber Segala Sumber Hukum Negara” di Gedung Pusat Pertemuan Ilmiah (PPI) Universitas Merdeka, Malang pada hari Selasa (17/4).

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menjadi keynote speaker di acara Seminar Legislatif bertemakan “Pancasila Sumber Segala Sumber Hukum Negara” di Gedung Pusat Pertemuan Ilmiah (PPI) Universitas Merdeka, Malang pada hari Selasa (17/4).

Foto: MPR RI
Semua perundangan semestinya tak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basrah mengatakan selama ini Pancasila belum digunakan sebagai sumber untuk pembentukan hukum di Indonesia. Hal ini disampaikannya saat menjadi keynote speaker di acara Seminar Legislatif bertemakan “Pancasila Sumber Segala Sumber Hukum Negara” di Gedung Pusat Pertemuan Ilmiah (PPI) Universitas Merdeka, Malang pada hari Selasa (17/4).

Acara yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang ini, mengundang Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah sebagai keynote speaker dan Anggota DPRD Jawa Timur, Factullah dan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Merdeka, Husein Muslimin dan lainnya sebagai narasumber.

Ahmad Basarah dalam sambutannya menjelaskan di dalam Pasal 2 UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) jelas tertulis Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara membawa konsekuensi semua peraturan perundang-undangan bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Namun, ada anomali antara perintah ketentuan pasal 2 UU No.12 Tahun 2011 itu dengan praktik legislasi selama ini di Indonesia. Di satu sisi dikatakan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, tetapi di sisi lainnya, pembentuk peraturan perundang-undangan tidak memiliki petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang bisa dipraktekkan ketika hendak menerjemahkan sila-sila Pancasila ke dalam norma hukum semua peraturan perundang-undangan.

"Bangsa ini sudah kehilangan rujukan nilai-nilai Pancasila. Akibatnya, sejak tahun 2003-2017, sekitar 244 gugatan atau pengujian UU yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945," ujarnya seperti dalam siaran pers.

Basarah melanjutkan, kondisi ini terjadi karena sejak zaman Orde Baru dan era reformasi saat ini, tidak ada satu pun dokumen negara resmi yang dapat dibaca tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yang dapat dipahami dan dipedomani oleh bangsa Indonesia. Terlebih untuk mengerti tentang apa dan bagaimana falsafah dasar negara yang terkandung dalam sila-sila Pancasila menurut maksud para Pembentuk Negara.

"Karena pernah terjadi suatu proses distrosi sejarah sehingga kita tidak pernah mengenal dokumen-dokumen otentik sejarah Pancasila yang benar dan obyektif," kata Basarah.

Lebih lanjut menurut Basarah, di awal era reformasi juga pernah terjadi kesalahan diagnosa dan keliru mengambil kebijakan politik terhadap Pancasila.  Kekeliruan itu terjadi ketika kelompok reformis pada waktu itu berpendapat bahwa Pancasila itu milik rezim Orde Baru sehingga harus dijadikan ditiadakan keberadaannya lagi.

Akibatnya Tap MPR Nomor II Tahun 1978 tentang P4 dicabut, lembaga BP7 dibubarkan dan dilakukan juga penghapusan mata pelajaran Pancasila dari mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Ini membuat pemahaman nilai-nilai Pancasila pada era reformasi saat ini seolah-olah diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Di mana setiap orang, kelompok dan golongan bebas merdeka menafsir makna yang terkandung dalam sila-sila Pancasila menurut selera dan kepentingannya masing-masing.

Katakanlah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat berbahaya jika setiap orang, kelompok dan golongan menafsir sesuai dengan kepentingannya sendiri-sendiri dan mengabaikan kepentingan bangsa yang lebih besar. Dalam jangka panjang ketiadaan pedoman dan panduan menafsir dan memahami Pancasila menurut para Pembentuk Pancasila sebagai dasar negara dapat berujung pada disorientasi dan juga disintegasi bangsa.

Oleh karena itu, untuk bisa memahami apa maksud yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila itu, bangsa ini harus kembali kepada sejarah pembentukan Pancasila yang prosesnya  bermula dari Pidato 1 Juni 1945 Bung Karno. Kemudian mengalami perkembangan menjadi naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan hingga tercapai konsensus nasional dalam rumusan teks final tanggal 18 Agustus 1945.

"Keseluruhan proses tersebut harus kita maknai sebagai satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara oleh pendiri negara. Aspek kesejarahan dan asal-usul sejarah tersebut harus diketahui anak cucu kita dari generasi ke generasi agar Pancasila tetap lestari," kata Basarah.

Di samping itu, posisi Pancasila 1 Juni 1945 juga memiliki pijakan akademis sebagaimana dikemukakan oleh Notonegoro pada pidato promosi Doctor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum di UGM Jogyakarta kepada Presiden Soekarno  tanggal 19 September 1951. Ia mengatakan bahwa pengakuan Pancasila 1 Juni 1945, bukan terletak pada bentuk formal dimana urutan sila-sila Pancasilanya berbeda dengan yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, pengakuan terhadap Pancasila 1 Juni 1945 justru terletak pada asas dan pengertiannya yang tetap sebagai dasar falsafah Negara.

"Sehingga sudah tepat Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 yang pada pokoknya menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Di dalam pidato 1 Juni itu, Bung Karno menjelaskan makna filosofi setiap sila Pancasila. Sehingga berbicara Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara, sesuai Keppres 24 tahun 2016 itu, ketika hendak membuat peraturan perundang- undangan, dokumen Pancasila 1 Juni itu disandingkan sebagai rujukan dan panduan pembentukan peraturan perundang-undangan, " tutupnya.

photo
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menjadi keynote speaker di acara Seminar Legislatif bertemakan “Pancasila Sumber Segala Sumber Hukum Negara” di Gedung Pusat Pertemuan Ilmiah (PPI) Universitas Merdeka, Malang pada hari Selasa (17/4).

Diharapkan para pembentuk hukum dapat kembali kepada falsafah bangsa sendiri dengan menjadikan Pancasila sebagai bintang pemandu yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan legislasi. Memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan serta kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan itu.

Pancasila sebagai ideologi dinamis memang dapat berkembang mengikuti konteks zamannya, akan tetapi falsafah dasarnya harus bersifat tetap menurut maksud para Pendiri Negara.

Turut hadir dalam acara itu Rektor Unmer, Sunarjo, Dekan Fakultas Hukum Unmer, Setyono, pimpinan BEM se Malang Raya serta tamu dan undangan lainnya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler