Rabu 04 Apr 2018 20:09 WIB

Ishadi SK Bahas Dunia Jurnalistik Kekinian di UAD

Bisnis dan idealisme ibarat dua sisi mata uang yang tak perlu dipertentangkan

Komisaris Trans Media, Dr Ishadi SK, saat menjadi pembicara tunggal pada kuliah umum dengan tema 'Dunia Jurnalisme, Antara Idealisme dan Bisnis' di Kampus 5 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Rabu (4/4).
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Komisaris Trans Media, Dr Ishadi SK, saat menjadi pembicara tunggal pada kuliah umum dengan tema 'Dunia Jurnalisme, Antara Idealisme dan Bisnis' di Kampus 5 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Rabu (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dunia jurnalistik di Indonesia senantiasa terus berkembang. Apa yang menjadi patokan beberapa tahun yang lalu belum tentu relevan dengan kondisi saat ini. Begitu juga terkait persoalan klasik, yakni dualisme pers sebagai entitas bisnis dan idealisme.

"Saya kira pragmatisme (bisnis-Red) dan idealisme ibarat dua sisi mata uang yang tidak perlu dipertentangkan. Keduanya tidak bisa diibaratkan minyak dan air," ujar Komisaris Trans Media, Dr Ishadi SK, saat menjadi pembicara tunggal pada kuliah umum dengan tema 'Dunia Jurnalisme, Antara Idealisme dan Bisnis' di Kampus 5 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Rabu (4/4).

Ia menegaskan bahwa antara idealisme dan bisnis bisa berjalan bersamaan dalam sebuah media. Akan tetapi ia merumuskan sebuah filosofi jurnalistik yang harus diterapkan para jurnalis di era digital seperti saat ini. "Bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja cepat," tutur Ishadi dalam kuliah umum yang diikuti seratusan mahasiswa tersebut.

Ishadi menambahkan, berbicara idealisme di media maka hal itu terkait pada demokrasi, konstutisi, religi, nilai moral, dan norma-norma sosial. Sedangkan bisnis akan selalu terkait pada profit, pasar, kompetisi, rating, dan uses and gratifications.

Menurut pria yang mengawali kariernya sebagai wartawan di TVRI Yogyakarta tersebut, masyarakat tak perlu khawatir seandainya unsur bisnis terlihat dominan dalam sebuah media. "Selama (dalam media tersebut-Red) terdapat newsroom yang di dalamnya dikembangkan pemikiran obyektif maka tidak masalah, karena mereka lah yang menjaga demokrasi," ujar Ishadi.

Masyarakat, kata Ishadi, juga tak perlu khawatir melihat sejumlah media yang terlihat berpihak pada sebuah kontestasi politik seperti pilkada atau pilpres. "Sejauh masyarakat masih memiliki alternatif pilihan media-media lain yang menyajikan pemberitaan yang lebih obyektif, maka tidak ada masalah. Pada akhirnya media yang berpihak pasti akan ditinggalkan," ujarnya.

Yang berbahaya, ujar dia, justru jika terdapat pembredelan terhadap pers seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. "Jika kita lihat di Amerika Serikat, pada First Amandment of the US Constitution, maka kongres di sana tak boleh membuat UU yang bertentangan dengan kebebasan pers. Di sini (Indonesia-Red) berlaku sebaliknya, pers malah diatur UU, jadi ada kemungkinan diberedel," kata Ishadi.

Saat ini, berdasarkan data dari Dewan Pers, Indonesia adalah negara dengan jumlah media terbanyak yakni 47 ribu media. Di antaranya terdiri dari 523 media televisi, 674 media radio, 2.000 media cetak, dan 43 ribu media daring. Sedangkan jumlah wartawannya ada sekitar 8.000.

Dalam kesempatan tersebut, Ishadi juga memaparkan realita bahwa tidak mungkin semua mahasiswa lulusan komunikasi ditampung di media, mengingat jumlah lulusan komunikasi pasti akan jauh lebih besar ketimbang daya tampung media-media di Indonesia. Oleh karena itu, Ishadi menyarankan mahasiswa zaman sekarang agar pandai-pandai melihat peluang baru yang ditawarkan berkat kehadiran internet, seperti media sosial, blog, vlog, dan lain sebagainya.

"Berkat media sosial semua orang sekarang ini bisa membuat berita. Yang penting anak-anak muda harus tetap bekerja keras, semangat, dan jangan merasa rendah diri terhadap orang lain," tutup Ishadi dalam kuliah umum yang digelar Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi UAD tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement