Senin 19 Mar 2018 06:00 WIB

Buya Hamka, Islam, dan Pancasila

Buya Hamka mengkritik permaknaan toleransi yang tak adil menempatkan umat Islam.

Buya Hamka.
Foto: Twicsy.com
Buya Hamka.

Oleh Yusuf Maulana*

Kiai Haji S.S. Djam’an adalah seorang ulama cukup terkenal di Jakarta pada kurun 1960-an. Tak hanya berdakwah di kampung-kampung, ia juga penulis dan membidani lahirnya sebuah lembaga pendidikan Islam di Tanah Tinggi, Jakarta. Suatu hari, sebagaimana diceritakan Buya Hamka dalam "Dari Hati ke Hati" majalah Panji Masyarakat yang kemudian dibukukan sesuai nama rubrik tersebut, Kiai Djam’an mengadakan pengajian bertemakan tafsir surah al-Kahfi ayat 4 dan 5.

Buya Hamka memetikkan terjemah ayat yang menegaskan ke-Esa-an Allah SWT dan menekankan bahwa Tuhan tak memiliki anak tersebut.

Tak dinyana, pengajian yang digelar di sebuah rumah warga itu rupanya ada yang menyimak dari kalangan bukan Islam. Selepas pengajian, tepatnya ketika Kiai Djam’an hendak pulang, sekumpulan pemuda berperawakan kekar memasang tampang garang. Mereka pun berlekas mengepung sang kiai!

“Anda anti-Pancasila!” Begitu tuduhan para pengepung. Ya, alasan mereka keberatan tak lain tak bukan karena kupasan Kiai Djam’an tentang ayat 4 dan 5 surah al-Kahfi. 

Beberapa saat kemudian, tutur Buya Hamka, seorang tokoh agama datang, kemudian mengajak berdialog Kiai Djam’an. Merasa tidak ada yang patut dipersalahkan, Kiai Djam’an mempertahankan pendiriannya dan menolak sebutan dirinya sebagai anti-Pancasila. Sebagai guru agama dan mubaligh, jam terbangnya sudah tak terhitung. Pengorbanan untuk menyokong sila-sila dalam Pancasila tak perlu ditanya.

Ia menegaskan bahwa ayat yang ia kutip merupakan pokok ajaran Islam dan menolak disebut anti-Pancasila. "Adapun dalam hal membela Pancasila, terutama kami orang Islam adalah pembela Pancasila, seluruh jiwa raga telah kami berikan untuk membela Pancasila,” kata Kiai Djam’an menegaskan.

Dialog berjalan tenang; selepas itu, keduanya bersalaman. Rupanya, perkara surah al-Kahfi ayat 4 dan 5 itu belum kelar di benak lawan bicara Kiai Djam’an. Sang mubaligh ini harus menghadap ke kantor polisi karena ada laporan pihak tertentu bahwa ia melakukan propaganda anti-Pancasila! Jangan tanya bagaimana terherannya Kiai Djam’an dan para jamaah. 

Syukurnya, tutur Buya Hamka bercerita, polisi yang memeriksa Kiai Djam’an itu pernah menjadi muridnya. Ia kenal betul siapa sang gurunya dan perjuangan hidupnya. Seorang kiai yang juga guru dari beberapa profesor di negeri ini. Ringkasnya, sang guru pun diminta dengan hormat untuk kembali ke rumah. Perkara dianggap selesai.

“Untunglah polisi yang menerima laporan itu mengenal baik guru Djam’an. Kalau tidak?” kata Buya Hamka menerangkan.    

Mendahului koleganya semasa di Masyumi, M Natsir, yang pada kurun 1970-1980-an banyak berbicara siasat dakwah agama lain, Buya Hamka sejak 1960-an sudah mengangkat tema ini. Toleransi dibalas dengan tamparan, begitu Buya Hamka menyebutnya.

“Dan kita disuruh toleransi. Toleransi dengan tafsiran bahwa kita jangan atau—lebih aktifnya—dilarang (untuk) menerangkan akidah kita; siapa yang berani menerangkan akidah kita, rumahnya bisa dikepung atau dia bisa diproses,” sindir Buya Hamka, mencontohkan kejadian yang dialami koleganya, Kiai Djam’an. 

Itulah kejadian pada dekade 1960-an manakala kekuatan Islam dipinggirkan, sementara kalangan nasionalis sekuler bersama-sama komunis mengitari penguasa.

Logis bila Buya Hamka mengkritik permaknaan toleransi yang menempatkan umat Islam secara tak adil. Buya Hamka pantas mengingatkan pemerintah untuk bertanggung jawab dalam menciptakan iklim kondusif toleransi antarumat beragama.

Ketika menyampaikan khutbah di Masjid Al-Azhar pada 1960, Buya Hamka berkata lantang, “Islam dalam bahaya!” Yang dimaksudkan Buya Hamka adalah bahaya dari ancaman komunis dan misi agama lain yang telah menyerbu dengan segala kekuatan uang, pengaruh, dan kekuasaan. 

Rupanya Presiden Sukarno mendengar dan menyimak dari bawahannya ihwal kritik Buya Hamka itu. Saat pidato sambutan Maulid Nabi Muhammad, Sukarno menyambut gayung yang diajukan kawan lamanya itu, “Ada orang yang mengatakan: ‘Islam dalam bahaya’. Orang yang berkata itu sendirilah yang sekarang dalam bahaya.”

Sosok yang dimaksud Sukarno jelas: Hamka. Begitu pula terkait isi pidatonya, Sukarno tidak sedang mengobral omong kosong di mimbar. Terbukti, beberapa waktu kemudian, Buya Hamka ditangkap aparat kepolisian pada 27 Januari 1964, untuk selanjutnya ditahan selama 2,5 tahun lebih dengan tuduhan hendak menggulingkan pemerintah, berencana membunuh presiden dan menteri agama, serta menggelorakan kontra-revolusi—semua tudingan yang dibuat-buat demi mengerangkeng sang penulis Ayahku dan Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial.

Kejadian yang dialami Kiai Djam’an dan Buya Hamka rupanya bukan yang kali terakhir terjadi. Ia malah semacam pengingat dari pemaknaan toleransi yang timpang sebagaimana diingatkan Buya Hamka. Betapa hari-hari belakangan ini makna toleransi kembali hadir di ruang publik dengan makna berstandar ganda.

Umat Islam diminta menghormati pemeluk agama lain, meski kebijakan semacam itu hanya mengikat Muslimin, semisal dalam kasus peraturan daerah bernuansa syariat Islam. Umat Islam, sebaliknya, diminta tunduk tanpa boleh bertanya bilamana kalangan umat lain yang dominan di satu kawasan membuat kebijakan, kendati kebijakan itu berlebihan dan irasional dalam dimensi hak hidup manusia beraktivitas. 

Begitulah “toleransi yang dibalas tamparan” seperti belum lenyap di tengah Muslimin Indonesia. Ketika Muslimin berposisi sebagai mayoritas di negeri ini, perasaan didiskriminasi terjadi di mana-mana.

Ada yang memang warga Muslim di tempat itu berstatus minoritas, kendati dalam jumlah cukup banyak juga. Ada juga kejadian diskriminasi itu terang-terangan di kota-kota basis umat Islam, seperti marak diberitakan dalam soal ditiadakannya hak tenaga kerja Muslim untuk beribadah dan menggunakan hijab. 

Kabar yang terdengar ihwal “gertakan” pemuka agama setempat yang melarang pembangunan masjid, sebagaimana baru-baru ini ramai . Ada banyak kejadian serupa yang mestinya segenap anak bangsa saling menolehi diri. Bilapun umat Islam dipandang “rakus” dan “kelewat batas” membangun masjid, Muslimin tidak alergi kritik.

Ketika diminta baik-baik, asalkan proporsional, umat Islam tidak bakal “menampar sembari teriak toleransi”; perlakuan yang kerap diterimanya dari kalangan lain termasuk dari bungkamnya pendukung “gaduh Pancasila dan cinta NKRI”. n

*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku Mufakat Firasat, dan Nuun, Berjibaku Mencandu Buku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement