Rabu 14 Feb 2018 12:53 WIB

Amuk, Orang Gila, dan Spiral Kekerasan di Indonesia

'Amuk dan orang gila' ternyata sudah ada presedennya dalam sejarah Indonesia.

Pembantaian di Gayo Aceh.
Foto: gahetna.nl.
Pembantaian di Gayo Aceh.

Menyusuri hubungan sejarah dengan merebaknya aksi kekerasan 'orang gila' dalam kurun sepanjang sejarah sunguh menarik rasa perhatian. Di masa lalu, ketika Raffles tinggal di Nusantara – pernah menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada dekade awal 1810an – dia pernah terbengong melihat ada orang Melayu melakukan kekerasan tanpa arah di sebuah pasar.

Raffles kemudian bertanya kepada warga: ada apa gerangan? Mereka menjawab ada orang mengamuk (melakukan amuk). Penulis buku kondang tentang Jawa, 'History of Java' yang sebagian di datanya dapat dari hasil merampok Kraton Jogjakarta, kemudian pergi untuk melihatnya secara langsung.

‘’Ah, dia orang gila. Di Inggris dia disebut orang gila,’’ ujarnya. Yang mengantarkan dan kebetulan orang Melayu dia menjawab membantahnya.’’Tidak. Hanya orang 'ngamuk', tidak gila. Dia mengamuk saja,’’ tukas si Melayu. Orang itu kemudian mengatakan dia sadar dan melakukannya karena kesal saja, kecewa, atau karena dorongan hal lain. Bisa juga karena luapan emosi jiwa yang tak tertahan.

Raffles hanya diam mengamati. Dan ketika amuknya reda, dia melihat orang itu kembali seperti orang waras biasa. Orang mengamuk itu sama sekali tidak gila. Bahkan bisa kemudian tertawa-tawa gembira seperti orang waras lainnya.

Di titik Raffles sadar bahwa yang mengamuk itu bukan gila. Hanya mengamuk.  Raffles pun tersadar pula istilah Eropa atau Inggris untuk menerangkan keadaan seperti itu tak ada kamus bahasa di negerinya. Gila ya gila, lalu amuk itu apa padanan kosa kata bahasa Inggrisnya. Di situlah Raffles kemudian memasukan kata ‘amuk’ ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘Amock’ yang diartikan sebagai tindakan mata gelap. Kata ini juga diartikan sebagai situsi perbuatan yang tidak didasarkan kesadaran diri yang penuh. Dan  kata ini berkat Raffles memasukannya ke kamus Inggris, 'amuk' kini telah menjadi kosa kata milik dunia.

                                                     

                                                         ******

Situasi orang yang dianggap ‘gila’ dan mengamuk terjadi lagi kemudian pada kasus perang Aceh. Waktu itu kolonial Belanda bingung menghadapi keberanian orang Aceh dalam berperang. Mereka menyebutnya sebagai tindakan orang aceh yang ‘gila’ dan Belanda menyebutnya sebagai Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian juga kondang sebagai sebutan pejoratif ‘Aceh Pungo’ (Aceh yang gila).

Akibat banyaknya kematian tentara di tangan orang Aceh. Ini memaksa Belanda kemudian melakuan sebuah kajian ilmiah.  Mereka mengkaji mengapa orang Aceh seberani itu dan bagaimana mencegahnya? Tak tanggung-tanggung, Belanda kala itu melibatkan DR RH Kern sebagai seorang penasihat pemerintah kolonial untuk urusan bumiputera dan Arab. Mereka terjun ke masyarakat untuk melihat apa  yang sebenarnya terjadi.

Lalu apa hasil penelitian itu? Ternyata hasilnya membuat DR RH Kern dan para peneliti kolonial lainnya tercengang. Mereka menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk gejala-gejala sakit jiwa. RH Kern mengatakan apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda. Adanya penindasan itulah  membuat jiwanya akan tetap melawan Belanda.

 

photo
Warga sebuah kampung di Aceh tahun 1880. Foto:gahetna.nl

Dia melihat kenyataan yang memerihkan hati. Taktik perang orang Aceh pun ternyata tak statis, melainkan berubah-ubah sesuai keadaan. Pada awal perang ketika kekuatan Aceh penuh mereka menggunakan perang pasukan secara bersama-sama. Tapi kemudian taktik berubah dengan yang dilakukan perang atau perlawanan individual. Layaknya jargon iklan minuman ringan, orang Aceh diserukan untuk menujahkan senjata rencongnnya atau benda apa saja yang mematikan bila menjumpai orang ‘kaphe’ Belanda. Mereka kalau ada kesempatan tanpa kecuali harus menghabisi nyawa si-Belanda itu.

Alhasil  banyak sekali orang dan tentara Belanda tewas ditusuk rencong atau disikat mati orang Aceh. Tak peduli itu tengah sendirian, atau dia dalam keadaan ramai seperti di tengah pasar. Bisa dilakukan oleh orang Aceh pria dan wanita. Dari tentara hingga perempuan penjual dagangan di pasar-pasar biasa. Setiap kali ada pembunuhan kepada tentaranya, Belanda selalu menyebut orang Aceh gila sedang mengamuk.

Akibat cara melakukan perlawanan dengan model ini, jumlahnya korbannya tak terperi banyaknya. Dalam banyak tulisan sejarah tercatat, pembunuhan  khas Aceh ini  terjadi terutama antara antara tahun 1910 – 1920.  Kala itu telah terjadi kasus pembunuhan model ini sebanyak 79 kali . Secara terinci korbannya ada pihak 12  orang Belanda mati dan 87 luka-luka. Dari  di pihak Aceh 49 tewas.

Jumlah terbanyak ‘amuk orang Aceh’ yang disebut kolonial Belanda sebagai tindakan yang dilakukan oleh orang gila itu, terjadi antara tahun 1913, 1917, dan 1928. Kala itu setiap tahun ada 10 orang yang Belanda dan tentara kolonialnya yang menjadi korbannya,

Situasi itu jelas hasil kongkrit dari sebuah seruan jihad melalui 'Hikayat Prang Sabi', karya Teungku Chik Pante Kulu. Syair ini ditulisnya dalam perjalanan pulang ketika pulang dari perjalanan hajinya dari Makkah ke Aceh. Isinya berisi tentang seruan untuk terjun ke dalam perjuangan fisabillah. Seruanya adalah membasmi kaum kafir merupakan pahala besar.

...Wahai Saudara, adik abang

Jangan bimbang mati berperang

tak usah hiraukan hulu balang

Mereka telah sesat, ikut setan..... (terjemahan sebagian Hikayat Prang Sabi)

Pembunuhan ini memang sempat terlihat menurun pada tahun 1933 dan 1937. Waktu tahun itu  masing-masing 6 dan 5 kali kasus saja. Kasus ini belum lagi korban yang jatuh setelah tahun 1914 hingga tahun 1942.  Namun tetap saja bikin ngeri. Akibat amuk yang dikatakan Belanda dilakukan 'orang gila' waktu itu  telah menyasar anak  kecil. Pada akhir bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) ikut menjadi korban dalam aksi amuk ini.

 

                                                       ******

Mengatasi hal itu, dengan adanya kesimpulan RH Kern bahwa banyak orang Aceh yang sakit jiwa, maka sebuah rumah sakit jiwa di Sabang didirikan oleh pemerintah kolonial. Dr Latumenten ditunjuk sebagai kepala rumah saikit jiwa yang sisanya bangunannya masih bisa hingga kini disaksikan itu.

Namun rumah sakit jiwa pimpinan Latumenten itu, ternyata tak hanya mengobati yang sakit jiwa saja. Ternyata mereka juga melakukan staudi terhadap para pelaku pembunuhan yang dianggap khas Aceh itu, yang oleh pemerintah Belanda dianggap gila atau mengidap penyakit syaraf itu,

Celakanya, hasil penelitian Dr Latumenten itu tak sebangun dengan asumsi awal pemikiran pemerintah kolonial itu. Kesimpulannya justru menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Kemudian faktor apa yang mendorongnya? Jawabnya: yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu 'tueng bila' (Balas dendam). Dan penelitian itu kemudian menyarankan: seharusnya segala tindakan kekerasan jangan lagi dilakukan terhadap rakyat Aceh.

Sebagai  tindak lanjut dari saran itu, kemudian pemerintah Belanda melakukan ‘politik pasifikasi’, sebagai  usaha tanpa kekerasan dengan maksud mengambil simpati orang Aceh. Ide ini dicetuskan oleh penasihat Belanda dalam bidang keagamaan di Hindia Belanda, yakni oleh Snuck Hurgronje. Hasilnya kemudian umat Islam dicoba didekati dengan model lain, yakni Islam dalam soal ibadah dibolehkan dan didukung, namun dalam soal Islam politik dilarang atau dihabisi! Hurgronje di waktu kemudian hari memimpikan terwujudnya negara Uni Belanda dengan agama Kristen menjadi agama negara.

Jadi istilah 'amuk orang gila' ternyata sudah ada presedennya dalam sejarah Indonesia. Jadi awas hati-hati sama ‘orang gila’! Dan kalau sekarang marak muncul, maka pahamilah bila di zaman dahulu situasi dan istilah itu ternyata sudah ada. Lagi pula, "mana ada sih yang baru di bawah sinar matahari?"

 

 

 

 

 

                  

 

 

 

                                       

 

 

 

 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement