Selasa 30 Jan 2018 16:54 WIB

Sistem Moneter Islam dan Mata Uang Virtual

Dalam ekonomi Islam, mata uang tersebut diharamkan untuk digunakan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Winda Destiana Putri
Bitcoin.
Foto: Reuters/Benoit Tessier
Bitcoin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meluasnya penggunaan mata uang virtual (cryptocurrency) seperti Bitcoin merupakan salah satu bukti digitalisasi. Namun, mata uang tersebut tidak memungkinkan untuk dijadikan alat pertukaran yang sah sebuah negara karena volatilitasnya yang tinggi. Sementara itu, dalam ekonomi Islam, mata uang tersebut diharamkan untuk digunakan.

Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CI-BEST) IPB, Irfan Syauqi Beik menjelaskan, pada dasarnya uang kertas yang ada sekarang dalam sistem moneter adalah pure fiat monetary system. Jaminan atau underlying asset uang kertas dijamin oleh bank sentral, bahwa uang kertas yang digunakan adalah resmi.

Hal tersebut sama dengan sistem syariah, alat tukar resmi merupakan yang diputuskan oleh negara atau bank sentral sebuah negara. "Negara pakai uang apa. Itu yang menjadi alat tukar resmi," ujar Irfan kepada Republika.co.id, Selasa (30/1).

Dalam ekonomi Islam, kata Irfan, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, uang harus memiliki nilai intrinsik yang signifikan. Kedua, apabila tidak memiliki nilai intrinsik yang signifikan, minimal harus memiliki underlying asset.

Dalam praktek selama ini ekonomi islam mengenal gold monetary system yaitu menggunakan emas sebagai alat tukar menukar. Contohnya Dinar untuk emas dan Dirham untuk perak.

Kedua, gold backed monetary system yaitu uang bisa berbentuk apa saja, termasuk kertas, namun proses penciptaannya dijamin oleh emas. Negara yang memakai sistem ini adalah Swiss. Jadi penciptaan uang kertas disana harus menggunakan emas sebagai penjamin.

Ketiga, asset backed monetary system. Dengan sistem ini, uang kertas tidak dapat keluar dari sistem keuangan dan masuk ke sektor riil tanpa ada attachment atau terkait dengan sektor riilnya. Sistem ini yang di praktek kan oleh perbankan syariah saat ini.

"Jadi dengan sistem ini, kalau keluarnya uang pakai akad murabahah harus ada barang riil yang diperjualbelikan. Jadi uang itu mencerminkan nilai barang yang diperjualbelikan. Attachment dengan sektor riil itu yang menjadi penting," papar Irfan.

Sistem ini pun harus termasuk dalam mata uang virtual atau digital. Apabila pada saatnya nanti uang virtual akan digunakan, maka harus dipastikan bahwa valuasi atau nilai uang virtual setiap rupiahnya harus terkait dengan barang dan jasa yang riil. Selain itu, uang digital harus stabil dan tidak membuka ruang untuk berspekulasi.

"Makanya model Bitcoin sarat dengan spekulasi. Jadi itu tidak bisa digunakan. Karena mengandung unsur yang diharamkan," tutur Irfan.

Di kemudian hari, ia menilai tidak menutup kemungkinan bahwa mata uang virtual atau digital akan menjadi alat pembayaran. Namun, mata uang digital atau virtual sah dan halal digunakan sebagai alat tukar menukar apabila telah ada regulasi pemerintah dan bank sentral yang mengaturnya.

Selain itu, mata uang virtual tidak digunakan sebagai alat investasi seperti mencari untung dari gain atau berspekulasi.

Contohnya, gain Bitcoin dalam sehari bisa mencapai 30 persen, dan mencapai 1600 persen dalam beberapa bulan. Sedangkan dalam waktu yang sama lose Bitcoin bisa mencapai beberapa ratus persen. Dalam hal ini, Bitcoin dijadikan sumber investasi seperti saham.

"Ruang spekulasi dengan digital harus dieliminasi. Tapi harus diarahkan digital currency untuk alat pembayaran saja. Boleh untuk membiayai proyek investasi, tapi bukan untuk jadi sumber investasi," kata Irfan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement