Kamis 26 Oct 2017 13:10 WIB
Orasi Dinamika Penanganan Terorisme di Indonesia

Jenderal Tito Dikukuhkan Jadi Profesor

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus Yulianto
 Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meberikan orasi ilmiah saat rapat senat akademik terbuka pengukuhan guru besar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-PTIK, Jakarta, Kamis (26/10)
Foto: Republika/Prayogi
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meberikan orasi ilmiah saat rapat senat akademik terbuka pengukuhan guru besar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-PTIK, Jakarta, Kamis (26/10)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian dikukuhkan menjadi guru besar kajian Studi Strategis Kajian Kontra Terorisme di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kamis (26/10). Dalam orasi ilmiahnya, Tito membawakan materi tentang penanganan terorisme di Indonesia.

Menurut Tito, pada masa Orde Lama pemerintah lebih mengedepankan strategi penggunaan kekuatan militer (military led strategy). Pada masa Orde Baru di bawah presiden Soeharto, strategi yang digunakan adalah memperkuat intelijen (intelijen led strategy).

"Sedangkan, sejak era Reformasi pemerintah menggunakan strategi penegakan hukum (law enforcement led strategy) dengan Polri sebagai ujung tombaknya," ujar Tito di PTIK, Kamis (26/10).

Menurut Tito, potensi konflik yang melibatkan aktor nonnegara menjadi semakin besar. Salah satunya adalah gerakan insurgensi, termasuk terorisme oleh aktor nonnegara terhadap negara.

Saat ini, di Indonesia, strategi yang digunakan untuk memberantas terorisme menggunakan gabungan antara hard approach dan soft approach. Penanganan dengan hard approach dilakukan dengan strategi penegakan hukum melalui due process of law menurut Tito berhasil mengurangi aksi-aksi kekerasan. "Namun tidak mampu memberantas radikalisme dan terorisme yang sudah menyebar," kata mantan Kepala BNPT ini.

Polri kemudian menjadi leading sector untuk melakukan penegakan hukum terhadap jaringan Islam radikal. Pada tahun 2002 Polri membentuk Satuan Tugas Bom dan tahun 2003 unit khusus bernama Detasemen Khusus 88 Anti Teror untuk merealisasi kebijakan ini. Tito, yang saat itu juga sempat menjadi kepala satuan Densus anti teror itu.

Dari sudut pandang strategis, penerapan strategi penegakan hukum ini dirasakan cukup tepat karena berpeluang besar untuk mendapatkan dukungan publik nasional dan internasional yang menjadi kunci kemenangan penanganan terorisme.

"Pada sisi lain, kelemahan utama strategi ini adalah tindakan yang terkadang lamban karena untuk melakukan upaya paksa harus diperoleh bukti-bukti hukum terlebih dahulu, yang acap kali sulit diperoleh karena pelaku teror juga memahami taktik menghindari jeratan hukum," ujar Tito.

Polri, menurut Tito, sudah cukup baik dalam melaksanakan penegakan hukum insurgensi jaringan Islamis radikal dengan ujung tombak Densus 88 Antiteror. Sekalipun, dalam beberapa aspek, Tito masih mengakuu ditemukan kendala yang berdampak pada belum maksimalnya hasil yang diperoleh.

"Sedangkan pendekatan lunak dilakukan dengan mengedepankan BNPT, dimana kontribusi Polri di bidang ini belum optimal," ujar dia.

Tito pun merekomendasikan, pemahaman tentang insurgensi dan kontra insurgensi perlu diserap oleh semua perwira Polri, sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri. Polri juga perlu mengintensifkan pelibatan fungsi intelijen dan Bimmas di semua tingkatan untuk melaksanakan pendekatan, penggalangan dan deteksi dalam rangka tindakan pencegahan dan rehabilitasi insurgensi Islamis radikal.

Untuk itu perlu diatur sistem anggaran khusus, merevisi aturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, mengembangkan kemampuan taktis Brimob Polri dan Polri perlu mempunyai Pusat Pengkajian Radikalisme dan Terorisme yang dapat dijadikan salah satu kajian di STIK PTIK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement