Ahad 22 Oct 2017 05:42 WIB

Tak Semua Hepatitis Perlu Diobati

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Aksi simpatik sadar Hepatitis
Foto: Antara
Aksi simpatik sadar Hepatitis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Ahli Hepatitis dari Kementrian Kesehatan Dr dr Rino A. Gani, Sp.PD-KGEH mengatakan tidak semua hepatitis B perlu diobati. Yang tidak perlu diobati hanya perlu monitoring secara berkala, tergantung dari tingkat kerusakan hatinya, jelas Dokter Rino dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id.

Untuk yang perlu diobati, memang belum ada obat yang bisa menghilangkan virus, tapi sudah ada obat yang bisa mencegah perburukan penyakit hati. Obat untuk menekan virus mungkin perlu diminum dalam jangka panjang atau bahkan seumur hidup, Tapi bukan hanya hepatitis B yang minum obat seumur hidup. Hipertensi, diabetes atau kolesterol pun demikian. Untuk hepatitis C, sudah ditemukan obat DAA (direct-acting antiviral) yang bisa menghilangkan virus dengan angka keberhasilan hingga 98 persen.

Jadi, apa yang ditakutkan? "Yang jadi masalah adalah bila tidak ketahuan, sehingga tidak diobati dan penyakit jadi memburuk. Tapi kalau ketahuan, bisa dikontrol dan diobati," tegas dokter Rino.

Hal senada diungkapkan oleh Marzuita dari Komunitas Peduli Hepatitis (KPH). Almarhum suaminya meninggal dunia akibat sirosis, karena hepatitis C. Ketidaktahuan mengenai penyakit ini membuat pasien telat berobat dan sekeluarga jadi panik, ucapnya.

"Bila ada anggota keluarga yang kena hepatitis B atau C, maka langkah yang perlu dilakukan yakni melakukan skrining pada seluruh anggota keluarga. Ini membuat penyakit bisa diketahui lebih awal. Semakin awal diketahui akan semakin mudah disembuhkan. Tidak ada yang tidak mungkin," ucapnya.

Yang perlu diperhatikan yakni hepatitis kronis yang disertai dengan penyakit lain. Misalnya hepatitis dengan penyakit ginjal kronis (PGK). Pada pasien hepatitis yang mengalami gangguan ginjal, DAA yang umum seperti sofosbuvir tidak boleh digunakan, karena obat ini dimetabolisme di ginjal.

Pada kondisi ini, perlu obat khusus (elbasvir/grazoprevir), yang tidak memperberat fungsi ginjal. Obat ini masih dalam proses registrasi di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).Seharusnya bulan Desember ini sudah ada izin edarnya, ujar Dr. dr. Rino.

Sedangkan untuk menghilangkan diskriminasi pekerja dengan hepatitis, baik Rino maupun Kasyunil sepakat agar dibuat sebuah peraturan atau perundang-undangan, minimal keputusan bersama antara menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kesehatan, agar penderita hepatitis mendapatkan hal yang sama di tempat kerja. Dengan demikian tidak ada lagi stigma negatif pada penyandang hepatitis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement