Sabtu 30 Sep 2017 22:13 WIB

Bentengi Anak dari Radikalisme dengan Permainan Tradisional

 Sejumlah pelajar memainkan permainan tradisional di Lapangan Persebta,Cikarang Barat,Bekasi,Jawa Barat,Rabu (30/11).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sejumlah pelajar memainkan permainan tradisional di Lapangan Persebta,Cikarang Barat,Bekasi,Jawa Barat,Rabu (30/11).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Mas Alamil Huda/Jurnalis Republika

"Saya tak pernah lupa di setiap akhir pekan, ada saja bagian tubuh saya yang luka, tapi akhirnya saya mengerti manfaatnya dan dapat banyak pelajaran dari sana."

Sejenak Suwarno terdiam setelah mengucapkan kalimat itu. Matanya menerawang ke masa lampau. Ingatan pria 38 tahun itu merentang ke puluhan tahun silam. Akhir 80-an hingga dekade 90-an awal adalah masa kanak-kanak yang tak pernah dia lupakan. Bersama teman-temannya, ia menghabiskan akhir pekan saat libur sekolah di hari Ahad. Bahkan, sedari Sabtu malam.

Bermain dengan teman adalah salah satu cara menghabiskan waktu di luar jam sekolah, apalagi saat libur. Masa itu, belum ada gawai atau medium permainan canggih lainnya. Bermain bersama teman sebaya di kampung halaman adalah anugerah. Tetapi, justru itu yang dirasa pria asal Lamongan ini banyak memberi pelajaran. Semua manfaatnya disadarinya ketika sudah dewasa.

'Bentengan' adalah nama permainan yang paling disuka Suwarno semasa kanak-kanak. Di Jawa Barat, permainan ini acap kali disebut 'Rerebonan'. Ada dua regu di permainan ini. Tiap regu ada beberapa pemain tergantung kesepakatan bersama di awal. Dua kelompok masing-masing punya 'benteng'. Benteng bisa berupa pohon, tiang atau yang lain. Kedua grup berupaya saling menawan lawan. Siapa yang terakhir memegang benteng, dia bisa mengejar lawan yang lebih dulu memegang bentengnya. Yang tersentuh, berarti dia menjadi tawanan.

"Kita lari, tak pakai sandal, kejar-kejaran, bahkan saling 'mengancam' untuk menang dalam permainan. Tetapi semua senang setelah permainan, meski lelah dan banyak yang luka seperti saya, tak ada kata musuhan," katanya kepada Republika beberapa waktu lalu.

Tak hanya Bentengan, biasanya dia juga bermain Petak Umpet, Gobak Sodor, Ular Naga, Engklek, Gundu dan permainan tradisional lainnya. Suwarno menganggap permainan ini mengajarinya banyak hal. Dari untuk diri sendiri seperti setia kepada kawan, kejujuran dan sportivitas. Hingga pada spektrum yang lebih luas, yakni menghargai lawan.

Yang dibidik hanya menang, sesuai dengan aturan dan kesepakatan di awal sebelum permainan dimulai. "Ini yang penting, kesepakatan bersama di awal, tak boleh curang," katanya. Semua itu memang tak ia pahami ketika kecil dulu. Saat itu, ingat Suwarno, bermain hanya untuk bersenang-senang, tak lebih.

Pria kelahiran 1979 ini biasanya bermain Bentengan dengan teman-temannya tiap akhir pekan selepas ngaji bersama di surau kampung. Dia dan anak-anak di kampungnya dulu, cerita Suwarno, setiap hari mengaji Al-Quran usai shalat Maghrib. Ada seorang pengajar ngaji di tempatnya yang biasa dipanggil 'Pak Modin', Pak Mas'ud Syafi'i nama aslinya. Pak Modin selalu bercerita dan memberi nasihat setiap selesai mengaji. Nasihat biasanya disarikan dari sejarah Islam di zaman Rasulullah.

Namun, kata dia, tak jarang Pak Modin juga berkisah tentang sejarah Islam di Indonesia. Yang paling diingatnya adalah tentang seni wayang yang digunakan sebagai medium dakwah oleh para ulama zaman dahulu. Mereka menggunakan tradisi lokal sebagai sarana dakwah untuk masuk ke masyarakat, dan itu efektif. Saat masih kecil hingga usia remaja, Suwarno sering menonton wayang yang saat itu masih sering dipentaskan di kampung halamannya.

"Semuanya saya rasakan sekarang saat saya bekerja dengan banyak orang dan dari berbagai latar belakang yang berbeda," ujar pria yang kini bekerja di perusahaan swasta di Jakarta dan tinggal di Bambu Apus, Pamulang, Tangerang Selatan.

Pengalaman hidup Suwarno diamini Djoko Suryo. Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengatakan, permainan tradisional yang berbasis kebudayaan lokal sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang seorang anak. Berbagai permainan tradisional itu, menurutnya, diciptakan bukan sekedar agar anak bermain.

"Nenek moyang kita mempunyai tradisi untuk menciptakan permainan-permainan anak yang mempunyai nilai-nilai kearifan. Misalnya nilai-nilai bagaimana cara berteman dan kerukunan bersama tanpa melihat latar belakangnya, kejujuran setia kawan. Semua dibentuk dalam permainan," ujar dia.

Menurutnya, kebudayaan lokal memiliki nilai-nilai kearifan yang bisa dipakai untuk mencegah paham-paham yang mengarah pada terorisme. Para ulama dahulu, kata Djoko, memiliki kemampuan untuk menerjemahkan dan menafsir nilai-nilai yang berlaku di masyarakat lokal sehingga dakwahnya lebih diterima.

Sejarawan yang kini berusia 77 tahun itu menjelaskan, masa Wali Songo dulu menggunakan pertunjukan wayang tak hanya untuk dakwah, tapi sekaligus memantapkan alam pikiran lokal untuk membentengi kehidupan lokal itu dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Dalam pementasan, wayang mengajarkan petuah-petuah supaya jujur dan juga cerdas melihat hal-hal yang membahayakan.

Oleh para ulama itu, lanjut dia, diterjemahkan dalam pemikiran-pemikiran yang bersifat gerakan pemikiran lokal. Cara itu bisa dipahami masyarakat lokal dengan mudah dan mereka memiliki kecerdasan dalam menangkap pengaruh-pengaruh dari luar sehingga tidak mudah dipengaruhi begitu saja.

"Makanya tidak mudah terpengaruh, karena mempunyai kekuatan kearifan dalam memilah memilih mana yang baik mana yang buruk. Para ulama dulu cerdas sekali dalam menggunakan kearifan lokal," katanya.

Djoko melanjutkan, kearifan-kearifan lokal seperti permainan tradisional sudah semestinya digalakkan kembali. Tantangannya adalah permainan itu harus dikemas lebih menarik lagi. Permainan-permainan tradisional itu, menurutnya, bisa diadopsi sekolah formal. Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam mengemas permainan-permainan tersebut.

Dia mencontohkan, sebelum Bentengan atau Gobak Sodor dimulai, siswa-siswi bisa dibekali dengan nilai-nilai luhur dan filosofi di balik permainan tersebut. Misalnya, kata dia, tentang pentingnya kerja sama, sportivitas tanpa melihat latar belakang teman bermain. Permainan yang melibatkan banyak orang ini bisa membuat orang lebih peka dengan lingkungan sekitar.

"Karena ini pengaruhnya sangat besar dalam mencegah paham-paham radikal. (Permainan) itu membangun ikatan orang supaya tidak gampang dipengaruhi orang dari luar. Sekarang itu kan anak-anak sudah dilatih individualis sendiri, tidak mau komunikasi dengan teman atau tetangga. Kalau dulu diciptakan permainan supaya dengan tetangga, dengan teman itu akrab," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement