Sabtu 19 Aug 2017 02:02 WIB
HUT Bung Hatta

Lika-liku Perjuangan Hidup Bung Hatta

Mohammad Hatta
Foto:
Bung Hatta

Menengok ke belakang, tangis pertama Mohammad Attar, nama asli Hatta, pecah selepas kelahirannya di sebuah rumah bertingkat dua di kawasan Aua Tajungkang Bukit Tinggi, pada 12 Agustus 1902. Ayahnya, Muhammad Djamil, yang wafat enam tahun kemudian, datang dari keluarga ulama.

Ibunya, Siti Saleha, tumbuh besar di keluarga pedagang. Deliar Noer, penulis sejumlah biografi Bung Hatta, menekankan semasa kecil, kepala Hatta sudah dijejali dengan ilmu agama. Seperti kebiasaan orang Minang, selain bersekolah umum, ia juga belajar di surau. Dua ulama besar di Sumatra Barat, Muhammad Jamil Jambek dan

Abdullah Ahmad, tercatat pernah menjadi guru agama Hatta. Pada saat masa kecil Hatta, di Sumatra Barat juga terjadi sejenis pemberontakan terhadap kolonialis Belanda dengan musabab perekonomian.

Menurut sejarawan Taufiq Abdullah, pada 1908, saat Hatta baru berusia enam tahun, ia menyaksikan orang-orang Minang dirantai karena enggan membayar pajak yang dikenakan menyusul kegagalan monopoli kopi Belanda di daerah tersebut.

Dari mamak-mamaknya alias para paman dari garis ibundanya, serta ayah tirinya, seorang pengusaha Palembang, Agus Haji Ning, Hatta juga menyimak renik-renik soal perdagangan. Ia mulai belajar soal bagaimana kapital berputar dan bekerja.

Ada hal lain lagi. Menurut Taufiq Abdullah, setahun sebelum Hatta lahir, di Padang sudah mulai mencuat pemikiran yang mendorong ke arah modernisme dan kemajuan melalui terbitnya majalah berbahasa Melayu, Insulinde. Salah satu kampanye utama gerakan tersebut adalah pentingnya pendidikan alih-alih semata menggantungkan nasib pada garis keturunan.

Saat Hatta menginjak remaja, terjadi pertentangan antara kaum muda yang mendukung semangat tersebut dan kaum tua yang teguh pada nilai-nilai lama. Hatta, kebetulan kerap bergaul dengan para pedagang yang ikut dalam barisan kaum muda. Barisan mereka-mereka yang meyakini perlunya kesetaraan yang demokratis dan modernisasi Islam.

Pada masa-masa itu juga, di usia 16 tahun, Hatta mulai bergabung dengan Jong Sumatranen Bond (JSB) cabang Padang. Organisasi kumpulan siswa-siswi asal Sumatra tersebut adalah ujung tombak kaum muda. Ide-ide awal Hatta terkait nasionalisme bisa dilacak dari sejumlah tulisannya untuk surat kabar Jong Sumatra.

Sepanjang 1916-1918, ia tercatat sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) cabang Padang. Sebagai pengatur keuangan, ia tentunya kerap berhadapan dengan fakta bahwa entitas politik apa pun tak bisa bergerak berbekal gagasan semata.

Artinya, bahkan sebelum berangkat ke Batavia pada 1919 untuk melanjutkan studi di Prins Hendrikschool, salah satu HBS (sekolah menengah Belanda) terkemuka di Hinda Belanda, seluruh bahan baku yang nantinya mengkristal dalam buah pikiran Bung Hatta sudah hampir lengkap. Religiositas yang ia peroleh di surau-surau, ketidaksukaan terhadap penindasan yang ia saksikan sendiri, modernisme dan benih-benih awal nasionalisme, juga praktik ekonomi politik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement