Selasa 08 Aug 2017 20:37 WIB

Ini Penyebab Semakin Maraknya Perdagangan Orang

Wakil Ketua DPD RI, Prof Darmayanti Lubis.
Foto: Dok Humas DPD RI
Wakil Ketua DPD RI, Prof Darmayanti Lubis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPD RI, Prof Darmayanti Lubis, akan berkoordinasi dengan jajaran Pemerintah Provinsi Sumatra Utara, pemerintah pusat, dan elemen yang terkait dengan perlindungan anak. Pasalnya perdagangan manusia, khususnya anak-anak semakin marak terjadi di Kabupaten Simalungun dan Asahan, Provinsi Sumatra Utara.

Dia meminta gugus tugas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) segera melakukan tindakan, baik terhadap penanganan kasus maupun pada aspek pencegahan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam memerangi perdagangan manusia khususnya anak. Menurut Darmayanti, pengawasan terhadap dinas-dinas yang ada di pemerintah paerah sangat penting dilakukan. Tak hanya itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terutama tentang adopsi anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Dia mengatakan, secara umum anak-anak dan perempuan merupakan pihak yang rentan menjadi korban perdagangan dan eksploitasi. Mereka yang menjadi korban sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat yang rentan.

Faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan anak antara lain kurangnya kesadaran dan konsep berpikir yang salah pada masyarakat, faktor kemiskinan yang memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk mempekerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang, keinginan cepat kaya, dan faktor kebiasaan penduduk yang menjadi budaya. Dia menyebut, maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak akibat belum optimalnya upaya perlindungan anak. Kasus perdagangan anak cenderung mengalami peningkatan pada kurun waktu tiga tahun terakhir dari 410 kasus pada 2010 menjadi 480 kasus pada 2011 dan menjadi 673 kasus pada 2012.

Indonesia, kata Darmayanti, merupakan negara sumber, transit, dan tujuan dari perdagangan orang terhadap perempuan dan anak, terutama untuk tujuan prostitusi dan ekpolitasi terhadap anak. Fenomena perdagangan orang dewasa ini semakin beragam bentuk dan modusnya. Banyak pelacuran baik di area lokalisasi maupun di tempat-tempat pelacuran terselubung seperti di kafe, panti pijat, salon kecantikan plus-plus, hotel dan lain-lain mulai menjamur, baik di kota besar maupun di pedesaan.

 

“Untuk mengatasi hal tersebut maka sebaiknya dilakukan upaya perlindungan terhadap korban trafficking anak namun banyak tantangannya," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (8/8).

Menurut dia, perlu kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara, dan aparat penegak hukum. Selama ini masalah perdagangan dan eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah yang sudah terjadi dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak masih kurang.

Darmayanti berharap segala upaya pemerintah selama ini bisa dilanjutkan dan diimplementasikan secara optimal.

Persoalannya adalah, kata dia, ketersediaan regulasi belum diikuti dengan penegakan hukum yang sesuai dengan UU. "Aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku perdagangan manusia yang jaringannya semakin menggurita yang hukumannya sangat ringan dan tidak membuat efek jera bagi para pelaku," ujarnya.

Data Bareskrim Polri yang berasal dari seluruh Polda di Indonesia pada 2007-2013, tercatat ada 267 kasus perdagangan orang yang diproses sebanyak 137 kasus, P21 sebanyak 120, dan yang di SP3 sebanyak 10 kasus. "Sebagian kasus perdagangan hanya 50 persen kasusnya yang diproses oleh jaksa penuntut umum (JPU),” kata dia.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan baik secara kelembagaan maupun perserorangan. Hal ini dapat dimulai dari orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah. "Harus dilakukan bersama-sama untuk menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana perdagangan orang,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement