Kamis 09 Aug 2018 17:30 WIB

Tantangan Mobil Listrik di Indonesia Menurut Kemenperin

Salah satu tantangan mobil listrik di Indonesia adalah soal infrastruktur.

Rep: Adinda Priyanka/ Red: Yudha Manggala P Putra
Ilustrasi Mobil Listrik
Foto: pixabay
Ilustrasi Mobil Listrik

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Direktur Jendral Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto menjelaskan, tantangan terbesar dalam menyediakan mobil listrik di jalanan Indonesia adalah infrastruktur. Termasuk di antaranya terkait proses charging atau pengisian energi listrik.

Selain memikirkan lokasi pengisian energi listrik, industri ini juga harus mempertimbangan ukuran kabel yang tentunya tidak kecil. Tidak kalah penting adalah beban listrik yang tercipta ketika banyak orang mengisi baterai sekaligus dalam satu waktu. "Misalkan saja di rumah atau apartemen. 50 orang ngecharge barengan saja, berapa itu bebannya," ucap Harjanto dalam acara Seminar Gaikindo 'Studi Pengembangan Electrified Vehicle di Indonesia' di Tangerang, Kamis (9/8).

Terlebih, pengguna kendaraan biasanya mengisi energi listrik hanya pada waktu tertentu yakni malam hari. Sebab, saat inilah mereka beristirahat dan memarkirkan mobil dalam jangka waktu panjang. Ditambah dengan aktivitas malam hari seperti menonton televisi, air conditioner yang menyala, beban listrik semakin bertambah.

Harjanto menjelaskan, kondisi ini terjadi di Singapura. Tapi, dengan luasan yang lebih kecil, pemerintah dan industri masih dapat mengelolanya dengan baik. Dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau, sistem manajemen di Indonesia terhadap mobil listrik semakin tidak mudah. "Penggunaan di Jakarta saja mungkin masih bisa dikelola, tapi sulit rasanya untuk kendaraan di luar Pulau Jawa," tuturnya.

Dengan berbagai tantangan yang ada, pengadaan kendaraan listrik ini hanya dimanfaatkan sebagai perantara menuju target Indonesia untuk menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29 persen pada 2030, bukan fokus utama. Menurut Harjanto, jangan sampai keberadaan mobil listik menimbulkan beban lagi seperti beban listrik maupun impor lithium.

Harjanto menuturkan, untuk pengembangan ke depannya, pola pendekatan mobil listrik akan menggunakan cara insentif termasuk nonfiskal. Misal, di gedung-gedung kantor besar, pengendara boleh memarkirkan kendaraannya di area depan. "Jadinya, orang bangga pakai mobil listrik. Dari situ, orang lain bisa terdorong juga," ujarnya.

Harjanto menambahkan, pendekatan penggunaan mobil listrik sebaiknya tidak dilakukan secara tendensius. Hal ini akan berdampak negatif ke investasi. Jika terbatas pada satu jenis atau produk semata, dikhawatirkan dapat menutun celah investasi di produk lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement