Ahad 23 Jul 2017 10:46 WIB

Harus Ada Revolusi Kurikulum Pendidikan Agama

Sejumlah siswa SD Negeri 3 mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) mata uji Pendidikan Agama Islam pada hari pertama di Lhokseumawe, Aceh, Senin (15/5). Jadwal UN SD/MIN tahun pelajaran 2016/2017 dimulai 15 -17 mei 2017 dan UN susulan dilaksanakan serentak pada  22-24 Mei mendatang.
Foto: Rahmad/Antara
Sejumlah siswa SD Negeri 3 mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) mata uji Pendidikan Agama Islam pada hari pertama di Lhokseumawe, Aceh, Senin (15/5). Jadwal UN SD/MIN tahun pelajaran 2016/2017 dimulai 15 -17 mei 2017 dan UN susulan dilaksanakan serentak pada 22-24 Mei mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Pakar keagamaan dari Yogyakarta Phil Al Makin menyatakan, kurikulum pendidikan agama mulai dari tingkat SD hingga SMA harus diubah secara revolusioner dengan menambahkan pendidikan keberagaman. "Harus ada revolusi dalam pendidikan agama di sekolah. Itu sudah lama direncanakan tapi sampai sekarang belum terlaksana," katanya di Ambon, Sabtu (22/7).

Al Makin adalah dosen Program Studi Sosiologi Agama pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dosen tamu beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Ia seorang peneliti aktif di bidang agama dan keberagaman, dan menjadi Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di kampus tempatnya mengajar.

Beberapa bukunya telah diterbitkan secara internasional, di antaranya "Representing the Enemy Musaylima in Muslim Literature" dan "Challenging Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia".

Al Makin berada di Ambon mewakili Indonesian Consortium for Religious Studies sebagai salah seorang pembicara pembuka di Simposium Indonesian-American Kavli Frontiers of Science (KFoS), pada 17-21 Juli 2017.

Menurut dia, merevolusi kurikulum pendidikan agama sudah direncanakan oleh pemerintah sejak era Presiden Soeharto, ketika itu Menteri Agama dijabat oleh Mukti Ali. "Pemerintah sudah harus mulai dan saya lihat Presiden Jokowi sudah mulai memikirkan itu, cuma mungkin beliau perlu mendatangkan orang-orang yang benar-benar ahli bukan orang politisi atau partai saja, ilmuwan sosial sehingga itu bisa menjadi kebijakan nasional," katanya.

Berpegang pada asas kebinekaan, nilai-nilai keberagaman tidak hanya digaungkan tapi harus tertanam kuat di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan yang dimulai pada level SD hingga SMA.

Dalam hal ini, pendidikan agama diyakini menjadi salah satu kunci untuk menanamkan nilai-nilai keragaman bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Melalui pendidikan tersebut setiap anak di Tanah Air diwajibkan untuk mengenal lebih dari satu kepercayaan selain yang diyakininya, langsung dari penganut agama yang berbeda.

"Sistem pendidikan kita tidak ada pendidikan keragaman, semestinya anak-anak dari kecil dari sudah diberi fondasi keragaman, kita datangkan pengikut agama yang berbeda, sehingga mereka tahu secara langsung dari orangnya, bukan karena prasangka," ujarnya.

Di Indonesia, kata Al Makin, ada lebih kurang 600 agama, dan itu belum termasuk sub-sub agama, serta agama suku yang menyebar di masyarakat. Berkaca pada situasi bangsa pada beberapa waktu terakhir, banyak hal yang harus diubah terkait kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan isu keragaman beragama.

"Sudah menjadi hal yang biasa agama digunakan untuk tujuan politik, karena agama dianggap barang yang murah dan mudah digunakan. Orang mudah emosi, sentimennya tinggi jika menyinggung tentang masalah keyakinan," ucapnya

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement