DPR dan Pemerintah Sepakati Tujuh Prinsip Perlindungan TKI

Rabu , 19 Jul 2017, 14:34 WIB
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf (kanan) dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay (kiri).
Foto: Dok Humas DPR RI
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf (kanan) dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada tujuh isu krusial yang telah disepakati dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN). Kesepakatan tersebut dibuat oleh panitia kerja (panja) Komisi IX DPR RI bersama Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, dan Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid.

 

Rapat panja dipimpin Ketua Komisi IX Dede Yusuf M Effendi yang didampingi para Wakil Ketua Komisi IX Syamsul Bachri, Ermalena, dan Saleh Partaonan Daulay. Dede mengatakan DPR dan pemerintah menyepakati pembentukan badan khusus yang bertugas dalam perlindungan pekerja migran. Badan itu dibentuk oleh Presiden dan bertanggung jawab pula kepada Presiden.

Namun dalam menyampaikan pertanggungjawabannya, badan tersebut harus berkoordinasi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Tenaga Kerja. "Mengenai keanggotaan badan ini, nantinya akan terdiri dari wakil dari kementerian terkait," ujar Dede dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (19/7).

Adapun tujuh kesepakatan yang dimaksud adalah pertama, pembentukan atase ketenagakerjaan di semua negara penempatan. Atase ketenagakerjaan ini adalah bagian dari perwakilan RI. Tugasnya yakni pendataan, verifikasi, market intelegent, dan berkordinasi dengan negara penempatan. Dalam melaksanakan tugas, atase ketenagakerjaan dapat dibantu oleh perwakilan RI dan badan yang memiliki kewenangan diplomat dan menguasai bidang ketenagakerjaan.

Kedua, jaminan sosial pekerja migran Indonesia (JSPMI) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, soal pembiayaan dengan prinsip zero cost yaitu komponen biaya tidak boleh dibebankan pada pekerja migran Indonesia.

Keempat, menyangkut fungsi layanan terpadu satu atap. Nantinya, lembaga ini memberikan pelayanan sebelum dan setelah bekerja. Kelima, pemerintah pusat bertanggung jawab menyediakan dan memfasilitasi pelatihan calon pekerja migran Indonesia melalui pendidikan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan.

Sementara itu, tanggung jawab pemerintah daerah adalah menginformasikan pesanan pekerjaan kepada pencari kerja, pelaksana pusat pelayanan terpadu bidang pekerja migran, serta bersama pemerintah pusat melakukan pendidikan dan pelatihan kerja.

Keenam, mengenai badan atau kelembagaan. Pelaksanaan tugas perlindungan pekerja migran Indonesia dilakukan oleh badan yang dibentuk oleh Presiden. Badan dipimpin oleh kepala badan yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden serta berkoordinasi dengan menteri.

Badan ini merupakan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) yang bertugas menjadi pelaksana kebijakan dalam pelayanan perlindungan pekerja migran Indonesia secara terpadu dan terintegrasi. Keanggotaan badan terdiri dari wakil-wakil kementerian atau lembaga terkait.

Ketujuh, pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia. Pelaksananya adalah pemerintah pusat, perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia, dan perusahaan yang menempatkan pekerja migran Indonesia untuk kepentingan perusahaan sendiri dan pekerja migran Indonesia perseorangan.

DPR dan pemerintah juga sepakat mengenai kejelasan pembagian tugas antara regulator yaitu Kementerian Ketenagakerjaan dan operator yaitu BNP2TKI dalam perlindungan TKI. Regulator nantinya memiliki beberapa tugas, diantaranya mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan dan penempatan buruh migran, melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak mereka, serta menghentikan atau melarang penempatan buruh migran ke negara tertentu.