Kamis 13 Jul 2017 16:55 WIB

Masuk PTN Favorit tanpa Ikut Bimbel

Pasangan Sujatmono Tony dan Metia Metriva bersama anak bungsu mereka, M Arif Rahman yang baru saja diterima di UI.
Foto: Dok SBBI
Pasangan Sujatmono Tony dan Metia Metriva bersama anak bungsu mereka, M Arif Rahman yang baru saja diterima di UI.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Setiap orang tua ingin anaknya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) favorit. Untuk itu, banyak orang tua, terutama dari kalangan menengah k atas, berani mengeluarkan biaya untuk memasukkan anaknya ikut bimbingan belajar (bimbel) maupun les privat. Targetnya adalah anak mereka bisa diterima di PTN favorit. Baik melalui jalur undangan (tanpa tes) maupun jalur tes.

Namun tidak demikian halnya dengan pasangan Sujatmono Tony dan Metia Metriva. Orang tua dari tiga anak yang semuanya laki-laki itu tidak pernah mendorong anak mereka masuk bimbel. “Anak kami tiga orang. Tidak ada satupun yang ikut bimbel. Namun semuanya diterima di perguruan tinggi favorit,” ujar Tony di Bogor pekan lalu.

Anak pertama, M Fajar Pratama baru saja lulus dari Binus. Anak kedua, M Dwi Kurniawan saat ini kuliah di IPB. Anak ketiga, M Arif Rahman, baru saja diterima di Jurusan Geologi UI. “Semuanya tidak ada yang ikut les pelajaran ataupun  bimbel,” kata Tony.

Lalu, apa tips Tony dan Metia agar anak-anak mereka bisa diterima di perguruan tinggi favorit tanpa masuk bimbel? “Kami cari sekolah berbasis Islam yang bermutu, yang menyelenggarakan jenjang pendidikan dari TK sampai SMA,” tuturnya.

Sekolah Islam yang seperti itu, kata Metiva,  pelajaran dan praktik agama Islam mencukupi, pelajaran sekolah juga mencukupi. “Jadi, anak tidak perlu lagi les pelajaran maupun les agama, sebab semua sudah mereka dapatkan di sekolah. Di rumah, tinggal acara keluarga dan beribadah bersama-sama,” ujar Metia.

Tony dan Metia memilih Sekolah Bina Insani (sekarang bernama Bosowa Bina Insani atau BBI) Bogor, Jawa Barat,  untuk ketiga anaknya. “Semua anak kami bersekolah di Bina Insani dari TK sampai lulus  SMA, atau total masing-masing 14 tahun,” kata Tony.

Sejak awal, kata Tony, ia dan istrinya sengaja tidak memilih SD, SMP maupun SMA Negeri.  “Ada orang tua yang anaknya bersekolah SD di BBI, tapi SMP di  SMP Negeri. Kami memilih BBI untuk anak-anak kami dari TK sampai tamat SMA,” tuturnya.

Alasan memilih BBI, kata Tony, berdasarkan pertimbangan mutunya. “Sekolah di BBI dapat ilmu agama Islam yang cukup. Dapat ilmu agama lebih banyak dibandingkan sekolah negeri. Sementara itu, pelajaran umum pun tidak kalah, bahkan lebih bagus dari SD, SMP dan SMA Negeri,” papar Tony.

Tony mencontohkan, anaknya yang nomor dua, Dwi Kurniawan,  tidak pernah les bahasa Inggris. Tapi pada semester II IPB, saat test TOEFL hasilnya 527. Ia langsung dapat nilai A, tanpa harus ikut  kuliah Bahasa Inggris. “Anak-anak saya juga berprestasi di bidang akademik, olimpiade nasional maupun ekstrakurikuler,”  ujarnya.

Terkait pelajaran agama, kata Tony, di BBI sudah cukup. “Shalat fardhu Zhuhur dan Ashar berjamaah di masjid. Shalat Dhuha. Hapal berbagai doa, antara lain sebelum belajar, setelah belajar, doa-doa wajib dan doa selamat. Juga hapal Alquran dengan target tertentu saat lulus TK, SD, SMP dan SMA,” tuturnya.

Lebih jauh Tony menjelaskan, anak berada di sekolah pukul 07.00-16.00. Sesampai di rumah, anak tinggal istirahat, bermain, kumpul keluarga. "Yang wajib saat anak sudah pulang ke rumah  adalah shalat Maghrib, Isya dan Shubuh berjamaah di masjid," kata Tony. Tentu saja hal ini diajarkan dengan keteladanan, yakni Tony pun shalat fardhu berjamaah di masjid.

Tiap selesai shalat fardhu berjamaah di masjid, Tony, istri dan anak-anaknya lalu tadarus Quran di rumah. “Saya tidak sepakat bila anak pulang sekolah pukul 16.00  sore masih harus belajar lagi, misalnya harus ikut les. Untuk apa anak saya harus ikut les? Toh, saya yakin di sekolah anak saya sudah mendapatkan pelajaran yang cukup, sehingga mereka tidak perlu lagi ikut les di tempat bimbel,” ujar Tony.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement