Kamis 22 Jun 2017 19:21 WIB

Muhammadiyah Akomodasi Keinginan Pemerintah Soal Pendidikan Karakter

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Esthi Maharani
Abdul Mu'ti
Foto: ROL
Abdul Mu'ti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan laporan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47, 2015 silam, Muhammadiyah setidaknya telah membangun 5.264 sekolah di seluruh Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari gerakan dakwah yang dilakukan Muhammadiyah melalui pendidikan. Ini juga menjadi salah satu kontribusi nyata Muhammadiyah dalam upaya memberikan pendidikan kepada masyarakat dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

5.264 sekolah itu antara lain, 1.064 Sekolah Dasar (SD), 1.111 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 567 Sekolah Menengan Atas (SMA), dan 546 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Selain itu ada pula 1.118 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 521 Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan 178 Madrasah Aliyah (MA). Sementara Muhammadiyah juga telah mendirikan 89 Pondok Pesantren dan 172 Perguruan Tinggi.

Angka-angka ini pun agaknya tidak akan berhenti di sini. Namun, justru akan bertambah dari tahun ke tahun, karena Muhammadiyah akan terus melakukan pembangunan sekolah baru di berbagai tempat di Indonesia.

Namun, satu hal yang tidak kalah penting dalam aspek pendidikan tersebut adalah adanya pendidikan karakter terhadap para peserta didik. Secara sederhana, pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang fokus pada etika, akal budi, akhlak, sikap hidup, dan emosi peserta didik. Sehingga, proses pendidikan tidak hanya mengembangkan proses kognitif, tetapi juga karakter dari peserta didik.

Menurut Sekretaris Umum (Sekum) Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk karakter bangsa. ''Hal ini sebagaimana disebutkan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional,'' ujar Mu'ti dalam keterangan tertulisnya.

Pemerintah pun terus berupaya untuk memperkuat pendidikan karakter. Salah satunya adalah lewat Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2017. Permendikbud ini mengatur soal pelaksanaan sekolah lima hari dengan masa belajar delapan jam setiap hari. Abdul Mu'ti pun mengakui, kebijakan tersebut tentu akan berdampak pada penyelenggaraan pendidikan formal dan non formal, tidak terkecuali lembaga pendidikan Muhammadiyah.

''Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah mengelola lembaga pendidikan Sekolah, Madrasah, Diniyyah, dan Pesantren dalam bentuk boarding school. Tidak sedikit warga Muhammadiyah yang bekerja sebagai guru. Karena itu Muhammadiyah jelas terdampak oleh Kebijakan Mendikbud tersebut,'' ujarnya.

Kendati begitu, dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah, Muhammadiyah, kata Mu'ti, akan berusaha mematuhi hukum dan aturan yang berlaku, asalkan tidak bertentangan dengan Islam. Lebih lanjut, Mu'ti pun menilai, sekolah lima hari sebenarnya adalah masalah strategi, bukan pada substansi.

''Karena itu, Muhammadiyah pun menyikapi hal tersebut secara proporsional,'' tutur Mu'ti.

Selama ini, Muhammadiyah selalu akomodatif dalam menerapkan peraturan dan undang-undang. Mu'ti memberi contoh, saat adanya peraturan tentang pendidikan agama. Di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agar siswa dan diajarkan oleh guru seagama. Sekolah-sekolah Muhammadiyah pun menerapkan aturan tersebut dengan memberikan pelajaran agama Kristen kepada murid yang beragama kristen dengan pengajar dari guru beragama Kristen.

Pun kaitannya dengan kebijakan sekolah lima hari, yang sempat menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. ''Muhammadiyah akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Ciri Muhammadiyah senantiasa berpandangan luas dan bersikap luwes. Karena prinsip luas dan luwes itulah Muhammadiyah dan amal usahanya bisa bertahan dan berkembang,'' ujar Mu'ti.

Lebih lanjut, Mu'ti menilai, sebenarnya secara kebijakan, penguatan pendidikan karakter itu sudah dimulai oleh Muhammad Nuh saat menjabat sebagai Mendiknas. Pada saat itu, Muhammad Nuh memberlakukan Kurikulum 2013 (K-13) sebagai pengganti Kurikulum 2006 (KTSP). Dalam K-13 itu, ujar Mu'ti, ada penekanan sikap spiritual dan sikap sosial sebagai kompetensi yang harus ada dalam setiap mata pelajaran.

Selain itu, ada pula perubahan durasi pelajaran agama, yang sebelumnya 2 jam pelajaran per minggu menjadi 3 jam pelajaran tiap minggu. Sementara untuk kebijakan sekolah lima hari dengan masa belajar delapan jam merupakan strategi pendidikan karakter yang diambil oleh Mendikbud, Muhadjir Effendi. Hal ini lantaran masih kurang efektifnya sistem sekolah saat ini, terutama terkait banyaknya waktu luang di luar kegiatan sekolah.

Pun dengan masalah akademik dan administrasi keguruan. Saat ini, banyak anak-anak yang masih mengikuti les mata pelajaran, ketrampilan, atau kesenian usai mengikuti jam sekolah. Mereka merasa hal-hal tersebut tidak cukup diberikan di sekolah. ''Karena itu, kebijakan Mendikbud itu diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan tersebut dengan memaksimalkan peran guru, tenaga kependidikan, dan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat,'' tutur Mu'ti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement