Kamis 22 Jun 2017 04:04 WIB
HUT Jakarta Ke-490

Jakarta Terancam tak Punya Pantai

Pantai Sampur
Foto: dok. Republika
Pantai Marunda, Jakarta Utara

Sejarawan Betawi lainnya, Ridwan Saidi mengatakan bahwa Sampur memiliki arti yaitu 'akses'. “Itu dari bahasa kita. Sampur itu artinya ‘Bukalah akses, kami datang’ bukan ‘Zandvort’, bahasa Belanda pun “Zandvort” enggak ada artinya,” ujar Ridwan saat saya temui.

Ridwan mengisahkan, Pantai Sampur kerap ramai didatangi oleh warga Jakarta ketika berlebaran. “Ketika Lebaran, itu sasarannya pantai karena mereka enggak punya pantai,” katanya.

Uniknya, Ridwan menambahkan, warga Jakarta ramai-ramai berwisata ke Pantai Sampur dengan menyewa truk dan membawa bendera merah putih. “Sesampainya di Sampur, justru tidak turun ke air. Mereka hanya menyewa yang namanya Bargas. Bargas itu kapal kecil, bisa muat 20 penumpang dan sudah digerakan dengan mesin, gak dikayuh lagi,” tutur Ridwan.

Menurut penuturan Ridwan, dahulu daerah di sepanjang Teluk Jakarta masih banyak muara yang bisa diakses dengan mudah. “Dari Priok, Muara Baru, Muara Angke, Muara Sedane, hingga Tanjung Pasir enggak bisa kepake (untuk dijadikan pantai). Orang enggak main di muara kecuali untuk nyari ikan,” ujarnya.

Begitu juga di daerah Pelabuhan Kalapa dan Pasar Ikan. “Tidak ada orang normal yang mau bersantai disitu. Jadi bersantai di Pelabuhan Kalapa itu memang belanja di Pasar Ikan, shopping, karena banyak makanan-makanan yang berasal dari laut. Seperti manisan kukur laut (rumput laut), sekarang sudah susah dicari,” imbuhnya.

Di sebelah barat, tepatnya di daerah Ancol, ada sebuah daerah tepi laut bernama Polker atau yang artinya ‘Penuh Air’. Orang-orang juga tidak berminat bermain-main di Polker karena airnya sering tinggi.

“Polker kan sebelahnya pelabuhan, sering tinggi kita gak pakai, baru di Sampur kita main. Dari Polker ke pelabuhan enggak main kita, baru di Sampur kita main. Itu lah mengapa orang zaman dulu menamakan itu Sampur, ‘akses’, cuma di situ aksesnya, baru kita masuk Pantai Cilincing, Marunda Kalapa, kalau Marunda Pulo kejauhan,” kata pria yang sudah banyak menulis buku tentang sejarah tersebut.

Ketika usianya masih kanak-kanak, Ridwan dan kawan-kawannya pernah pergi bersepeda dari rumahnya yang saat itu masih di daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat ke Cilincing dan Marunda, Jakarta Utara. “Hanya keindahan yang kita lihat enggak ada yang lain,” kenangnya.

Derai-derai pokok kayu asam masih banyak ditemukan di sepanjang Jalan Martadinata sekarang. “Kalau kita capek ya berhenti sebentar. Di situ ada tukang kelapa dan lontar, terus kita laju lagi naik,” ucapnya penuh antusias mengenang masa kanak-kanak.

Sesampainya di pantai, Ridwan dan teman-temanya memancing ikan ketang-ketang sembari merendam setengah badan. Usai memancing ikan, ikan yang berhasil dipancing kemudian dibakar bersama-sama. “Di Cilincing itu banyak rumah penduduk, adem, jadi kita ngaso di situ. Menjauh dari pantai kita bakar, kita juga bawa sambel, sama nasi,” ujarnya.

Sayangnya, kini keindahan tersebut tidak lagi bisa dinikmati generasi saat ini. Alwi Shahab mengatakan, Pantai Sampur kini telah berubah menjadi kawasan penyimpanan peti kemas. “Sayang, tempat yang menjadi favorit warga Belanda dan Eropa itu sekarang keindahannya hampir tidak berbekas dan dipenuhi timbunan alat-alat berat,” tulis Alwi.

Begitu juga menurut Ridwan yang sudah sejak lama tidak pernah mengunjungi tempat tersebut. “Buat saya, ke daerah itu beratnya apa itu, banyak truk-truk itu saya gak kuat, walaupun dengan mobil ya. Menjemukan perjalanan itu,” keluhnya.

Menurut Ridwan penyebab Pantai Sampur ditinggalkan adalah akibat dari suhu politik yang meninggi dan banyaknya penggusuran rumah warga yang terjadi ketika itu. Gubernur DKI Jakarta, Henk Ngantung pada 1962 menutup sebuah empang yang bernama empang Bandeng di daerah Ancol. Empang tersebut ditutup untuk pembangunan Soekarno Tower.

“Soekarno Tower itu untuk membimbing landing di Kemayoran Airport. Padahal area yg digunakan untuk Soekarno Tower itu hanya seluas lapangan badminton,” kata Ridwan. Tapi sayangnya, cita-cita Bung Karno tersebut tidak terwujud, karena Soekarno dijatuhkan kekuasaannya setelah terjadinya pemberontakan G30S/PKI.

Kemudian datanglah Ali Sadikin yang melarang budi daya ikan darat, seperti bandeng, dan lian-lain. Menurut Ridwan, sejak saat itu situasi menjadi agak tegang karena terjadi bentrokan terus-menerus di Ancol.

Ketika situasi politik meninggi pada 1962, Ridwan beranggapan orang mulai meninggalkan pantai. “Orang mulai melupakan pantai, Ancol ramai tapi terlalu komersial. Lalu Marunda sepi karena juga dibuat gudang peti kemas, sehingga akses menuju kesana jadi susah. Susah sekali,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement