Selasa 06 Jun 2017 21:30 WIB
Haul Sukarno

Ketika Nyala Api Islam Membara di Dada Sukarno

Presiden Sukarno membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Foto: repro buku 50 Tahun Indonesia Merdeka
Presiden Sukarno membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, Rahmat Fajar

Dalam pengasingan, Sukarno meyakini kebenaran Islam.

"’Tuhan bagi tempat-tempat terbit matahari’ itu bisa diartikan, bahwa bumi-bumi jang mendapat tjahaja dari matahari seperti bumi kita ini ada banjak. Tiap-tiap bumi itu mempunyai masjriq (tempat terbit) dan maghrib (tempat terbenam). Djadi, artinja: Tuhan bagi semua bumi-bumi jang mempunjai masjriq."

Keterangan di atas adalah catatan kaki dalam Tafsir Alfurqan (1956) karya ulama besar Ahmad Hassan untuk Surah as-Saffat ayat 5. Dalam tafsir itu, A Hassan membuat terobosan dengan berspekulasi ayat tersebut bicara soal planet-planet di luar bumi.

Tafsir dengan eksplorasi terhadap temuan-temuan terbaru dalam ilmu pengetahuan tersebut bukan sedikit dalam karya A Hassan yang disusun sepanjang 1920-1950-an itu. Dalam banyak hal, ia mencerminkan pikiran sang penulis yang tampak berupaya menampilkan kedekatan Alquran dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Seorang keturunan Melayu-Tamil yang lahir di Singapura pada 1887, A Hassan sejak kecil sudah menunjukkan ketertarikan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu agama. Ia kemudian melanglang buana memperdalam ilmu hingga akhirnya bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) satu tahun setelah organisasi ini didirikan pada 1923 oleh sekelompok pedagang di Bandung.

Pada masa-masa itu, di Bandung tengah berkuliah juga seorang pemuda dengan pikiran yang tajam dari Surabaya bernama Sukarno. Tamar Djaja dalam buku Riwayat Hidup A Hassan (1980) mencatat A Hassan dan Sukarno kemudian bersirobok di sebuah percetakan milik pengusaha Tionghoa di Bandung. Ketika itu, Sukarno hendak mencetak koran propagandanya, Fikiran Rakjat, dan A Hassan sedang memantau pencetakan buku-buku karyanya.

Kedua pihak agaknya tertarik dengan pikiran lawan bicara masing-masing meski bukan berarti selalu seiya sekata. “Sehingga Hassan disebut singa dalam perdebatan tapi domba dalam pergaulan,” ujar Sekretaris Majelis Penasihat Persis Dadan Wildan kepada Republika, pekan lalu. Menurut dia, A Hassan melihat Bung Karno waktu itu sebagai pemuda cerdas kendati belum mempunyai kekayaan ilmu tentang Islam.

Dalam kata-katanya sendiri, Sukarno mengiyakan bahwa masa-masa pada pertengahan 1920-an sebagai masa-masa ia mulai memikirkan secara lebih dalam soal agama dan ketuhanan. “Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam,” tulis Cindy Adam mengutip Sukarno dalam Penyambung Lidah Rakyat.

Tak hanya agama Islam, Sukarno juga menjelajahi berbagai keyakinan pada masa-masa tersebut, mulai dari Katolik, Hindu, dan Buddha. Namun, titik balik terjadi pada 1930, saat Sukarno dijebloskan ke Penjara Banceuy dan kemudian Sukamiskin di Bandung dengan tudingan makar melalui Partai Nasional Indonesia (PNI). “Di dalam penjaralah aku menjadi penganut Islam yang sebenarnya,” kenang Sukarno dalam autobiografinya.

Saat dipindahkan ke Ende, Flores, pada 1934, keinginan Sukarno mempelajari Islam kian menggebu-gebu. Bukan kebetulan, saat itu di Timur Tengah sedang terjadi sejenis revitalisasi pemikiran Islam. Nilai-nilai lama dipertanyakan, baik oleh para modernis di Turki, Mesir, dan Iran maupun oleh kaum puritan di Arab Saudi. Sukarno kemudian ingat kawan lamanya yang ia jumpai di percetakan di Bandung.

Mulanya, Sukarno menyurati A Hassan untuk meminta sejumlah buku-buku, bahkan yang paling dasar, terkait Islam. "Jikalau saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini; Pengajar Shalat, Utusan Wahabi, Al Muchtar, Debat Talqin, Al Burhan, dan Al Jawahir," tulis Bung Karno dalam suratnya kepada Ahmad Hassan pada 1 Desember 1934. Tak berapa lama, buku-buku yang diminta itu pun sampai melalui pos.

Dalam suratnya yang lain, yang ia tulis pada 26 Maret 1935, terlihat sukacita sang Sukarno kepada Ahmad Hassan. Tidak hanya lantaran kiriman buku-buku secara gratis, tetapi juga karena Hassan mengirimkan makanan-makanan kesukaan Bung Karno, seperti biji jambu mede. Sementara itu, keinginan masyarakat Endeh untuk memperoleh buku-buku karya A Hassan dan majalah serta buku yang diterbitkan oleh Persis dipenuhi A Hassan dengan diskon khusus.

Semakin rajin Sukarno melahap buku-buku kiriman tersebut, pandangan terhadap Islam mulai terbentuk. Dalam sejumlah kesempatan, ia mendidih mencapai titik kritis.

''... Tetapi apa yang kita 'cutat' dari kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flame-nya, tetapi abunya, debunya, asbesnya. Abunya yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang menyintai kemenyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat—zonder taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil saja—tetapi bukan apinya yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain ...,'' kalimat itu ditulis Sukarno dalam surat kepada A Hassan dari Ende pada 18 Agustus 1936.

Selama di pengasingan (1934-1941), Sukarno yang hanya ditemani istrinya Inggit Garnasih (setelah ia menceraikan Utari, putri HOS Tjokroaminoto), anak angkatnya, dan mertuanya, secara rutin menyurati A Hassan. Dalam 12 pucuk suratnya, Sukarno memperlihatkan keresahan, kerisauan, dan keprihatinan melihat umat Islam yang dihinggapi penyakit kekolotan, kejumudan.

Menurut dia, Islam adalah agama yang tidak pernah membedakan harkat dan derajat manusia. Ia mengkritik keras pengeramatan atas manusia yang menurut dia telah menghampiri kemusyrikan. “Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan,'' tulis Sukarno.

Semangat menggebu-gebu itu sempat juga mengarahkan ketertarikan Sukarno pada puritanisme Islam ala Arab Saudi. Dalam sebuah surat tertanggal Juli 1934, Sukarno memuji-muji biografi Raja Abdul Aziz Ibn Saud dalam bahasa Inggris yang ia peroleh dan bertekad menerjemahkannya.

“Inspirasi bagi kita punya bangsa yang begitu muram dan kelam hati. Inspirasi bagi kaum muslimin yang belum mengerti betul-betul artinya perkataan “Sunah Nabi”, yang mengira, bahwa Sunah Nabi SAW itu hanya makan kurma di bulan puasa dan celak mata dan sorban saja!” tulis Sukarno.

Dalam suratnya yang lain, Sukarno juga mengkritik umat Islam dan para ulama yang menekankan perlunya berilmu agama saja. Menurut Bung Karno, sains juga perlu dikuasai umat Islam guna memahami betul Alquran dan hadis. Sukarno secara keras juga mengkritik mubaligh-mubaligh yang tidak bisa memadukan pengajaran Islam dengan pengetahuan modern itu.

“Percayalah, bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam,” tulis Sukarno kepada A Hassan dalam salah satu suratnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement