Kamis 27 Apr 2017 17:40 WIB

Perempuan Kontemporer: Perjuangan dalam Mengisi Kesempatan

Maulia Rahma Fitria
Foto: dok.Istimewa
Maulia Rahma Fitria

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Maulia Rahma Fitria *)

Kondisi yang dialami oleh kaum perempuan Indonesia, saat ini, memang sudah jauh lebih baik dengan kondisi yang harus dihadapi perempuan pada zaman Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Meutia, Wardah Hafidz, dan Myra Diarsi ketika masih hidup. Pada masa Kartini, perempuan Jawa sangat terkungkung dengan adat dan budaya.

Budaya adat telah mengungkung kebebasan perempuan untuk menuntut ilmu dan menempuh pendidikan seperti halnya laki-laki. Yang kemudian kegelisahan hati Kartini tersebut menjadi dasar atas apa yang ingin dia perjuangkan, dan dituliskan melalui bukunya berjudul Door Duiternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada 1911.

Kaum perempuan hari ini sudah lebih mudah menikmati akses terhadap pendidikan. Angka perempuan buta huruf pun juga jauh berkurang setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai persentase perempuan yang buta huruf pada tahun 2009 hingga 2013 yaitu, dari 9,20 persen menjadi 7,69 persen. Namun, dari sisi intelektualitas, kaum perempuan dinilai belum banyak memberikan kontribusinya berupa gagasan maupun perubahan nyata terhadap kemajuan masyarakat.

Hal ini juga dapat dilihat melalui data yang dirilis United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Institute for Statistic pada tahun 2015, peneliti perempuan di Indonesia hanya mencapai 31 persen, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di dunia, yaitu hanya 30 persen. Hal ini membuktikan kontribusi gagasan perempuan di Indonesia maupun di dunia masih jauh dikatakan cukup dalam bidang pengembangan pendidikan.

Kurangnya keterlibatan perempuan dalam menuliskan gagasannya juga dapat kita lihat di setiap media massa mainstream, dimana tulisan-tulisan opini yang dipublikasikan dapat dikatakan masih jauh didominasi oleh kaum laki-laki. Bahkan, hampir dikatakan jarang kita membaca karya tulisan yang ditulis oleh perempuan. Hal ini seakan juga mengaminkan kenyataan bahwa dalam relasinya dengan media, perempuan lebih sering menunjukkan eksistensinya menjadi objek, bukan subjek.

Idealnya, perempuan seharusnya bukan hanya menjadi objek bagi media massa, tetapi juga perlu didorong untuk menjadi subjek. Namun sekali lagi, dalam realitasnya sangat sedikit perempuan yang memiliki akses dan kontrol terhadap media massa. Seharusnya, mereka banyak terlibat dan melibatkan diri dalam memanfaatkan media massa sebagai media belajar dan juga media pengembangan potensi diri.

Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan Indonesia yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara, menurut saya bukanlah seorang emansipasi perempuan. Bahkan ketika kita membandingkan dengan Cut Nyak Meutia yang telah berperang secara fisik melawan penjajah, dia lebih dari memperjuangkan perempuan, tetapi juga Tanah Air-nya.

Walaupun, kita tidak dapat memungkiri bahwa setiap pahlawan punya caranya masing-masing dalam berjuang. Cut Nyak Meutia dengan pertempuran, dan Kartini dengan tulisannya. Hal inilah yang kemudian membedakan Kartini dengan pejuang lainnya, dengan kontribusi gagasan melalui tulisannya itu, ia telah melanggengkan perjuangannya hingga saat ini.

Kondisi perempuan di Indonesia memang jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan yang dialami Kartini yang sangat minim akan kesempatan untuk mendapatkan hak-haknya. Berdasarkan data BPS pada tahun 2009 hingga 2012 tingkat pengangguran penduduk berdasarkan gender (perempuan) menurun dari 19,31 persen menjadi 15,48 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia setidaknya telah mendapatkan kesempatannya untuk terlibat di luar ranah domestik dengan bekerja di luar rumah.

Kesempatan lainnya yang telah didapatkan oleh perempuan di Indonesia pun juga dapat dilihat di ranah politik, dimana perempuan telah diberikan kesempatan untuk mengisinya, yaitu berdasarkan amanat UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang berisi dalam proses seleksi institusi publik harus mengakomodir setidaknya 30 persen keterwakilan gender. Yang kemudian hal ini merupakan usaha pemerintah untuk memberikan persamaan hak terhadap perempuan dan laki-laki.

Namun lagi-lagi, dari 30 persen kesempatan keterwakilan gender di parlemen, hingga saat ini, perempuan hanya mampu mengisi sampail 11 persen saja. Ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia belum mampu mengisi kesempatan yang diberikan untuk mendukung kelanjutan perjuangan pejuang hak perempuan sebelumnya itu.

Era perempuan kontermporer, bukan lagi mengenai bagaimana memperjuangkan hak perempuan untuk diberikan kesempatan yang sama halnya dengan laki-laki di berbagai aspek pendidikan, publik (politik) dan lainnya. Tetapi, perempuan kontemporer memiliki tugas dan peran dalam berjuang untuk mengisi kesempatan yang ada dan telah diberikan hingga saat ini.

Setidaknya, perempuan Indonesia harus belajar dari Kartini, menuliskan gagasannya, dan menjadikan tulisannya sebagai alat perjuangan, yang hingga saat ini gagasan-gagasannya tersebut dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia. Melalui tulisannya Kartini membawa pesannya bahwa perempuan harus mampu merefleksikan kembali harapan perempuan Indonesia untuk lebih terlibat dalam memajukan peradaban bangsa Indonesia. Setidaknya ada beberapa hal yang masih harus diperjuangkan oleh perempuan Indonesia, diantaranya merupakan melakukan penyadaran dalam mengisi dan menggunakan kesempatan yang ada.

Mengutip buku Wanita dalam Kesusastraan Perancis (Apsanti, 2003), agar perempuan tidak lagi tertindas atau ditindas, maka seharusnya perempuan harus melawan. Setidaknya, mereka harus berani mengemukakan wacananya sendiri yang secara alamiah bisa didapatkannya dengan cara terus mengeksplorasi.

Perempuan harus menulis, karena dengan menulis berarti perempuan telah membangun atau mengkonstruksi wacananya sendiri dan mendekonstruksi wacana patriarkial yang dominan. Kesemuanya dapat dilakukan melalui bahasa. Hal tebesar dan terpenting yang ada di dunia adalah bahasa. Perempuan harus membangun bahasanya sendiri. Perempuan harus menjadikan kegiatan menulis itu sendiri untuk membangun dunia yang diinginkan.

Terakhir, menulis adalah berperang, tindakan pembebasan melawan kekuasaan yang mendominasi. Perempuan memiliki kesempatan itu. Kita harus menyadari, bahwa peran individu dalam masyarakat tidak ditentukan oleh jenis kelamin, ras, agama, atau budaya. Tetapi, bagaimana kesempatan yang dimiliki saat ini mampu dipergunakan secara bertanggung jawab.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement