Jumat 21 Apr 2017 17:30 WIB
Hari Kartini

Kartini Buktikan Peran Perempuan tak Hanya Urusan Dapur-Sumur-Kasur

Kartini
Foto: gojepara.com
Kartini

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam catatan sejarah, RA Kartini digambarkan sebagai perempuan luar biasa. Di kala adat istiadat memaksanya bergumul di dapur-sumur-kasur, Kartini malah rajin menulis dan membaca buku, majalah, koran, hingga Alquran.

Sebelum berusia 20 tahun, berbagai buku yang dilahapnya antara lain, De Stille Kracht (The Hidden Force) karya Louis Couperus, kemudian karya-penulis Frederik van Eeden, Augusta de Witt, Mrs Goekoop de-Jong van Beek, dan Berta von Suttner. Sebagian besar adalah penulis-penulis negeri Belanda.

Selain itu, berbagai surat kabar juga tak luput dibacanya. Seperti surat kabar Semarang De Locomotief, yang disunting Pieter Brooshooft. Termasuk, majalah budaya dan ilmiah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Di majalah yang terakhir ini, Kartini mulai mengirimkan tulisan-tulisannya yang diterbitkan.

Perempuan yang namanya menjadi simbol emansipasi perempuan Indonesia itu lahir dari keluarga yang dekat dengan Pemerintah Belanda. Tak heran, ia bisa dengan mudah mendapatkan buku, koran, dan majalah, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia saat itu adalah barang langka. Bahkan, di usia 20 tahun, ia sudah fasih berbicara dan membaca bahasa asing.

Kecintaanya dalam menulis, membuatnya menyukai membaca artikel-artikel jurnalistik, berbagai buku, hingga menjalin persahabatan lewat dunia pena dengan teman sebaya dari luar negeri. Literasinya pun kian kaya.

Belajar tak kenal umur, kata Kartini dalam buku yang berisi kumpulan surat-suratnya, Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). "Belajar pada usia yang sudah matang ada pula lah keuntungannya. Kami sekarang mengerti jauh lebih baik dan memahami segala sesuatu. Dan, banyak hal, yang dulu bagi kami mati sekarang menjadi hidup. Kami tertarik terhadap sangat banyak hal yang dulu tidak kami pedulikan, semata-mata hanyalah karena: kami tidak mengerti," (cuplikan surat kepada Ny Abendanon, Jepara 8 April 1902).

Tentang cita-cita, "Dalam gelap dan kabut itu terlihatlah oleh kami suatu bayang-bayang yang bersinar-sinar dengan indahnya, melambai-lambai dengan ramahnya. Itulah cita-cita kami! Tidak, kami tahu sekarang. Kami tidak dapat lagi melepaskannya, sudah menjadi satu dengan kehidupan kami. Melepaskan cita-cita itu berarti menenggelamkan diri. ... Kami harus diberi hati baru, otak baru, dan darah baru, apabila hendak mengubah pikiran dan perasaan kami ...," (cuplikan surat kepada Ny Abendanon, Jepara 29 November 1901).

Tentang hidup adalah cobaan, "Jangan berputus asa, dan jangan menyesali nasib malang. Sehingga menjadi bosan hidup. Kesengsaraan membawa nikmat. Tidak ada sesuatu yang terjadi berlawanan dengan Rasa Kasih. Kutuk hari ini, besok ternyata rahmat. Cobaan adalah pendidikan dari Tuhan!" (cuplikan surat kepada Ny Abendanon, Jepara 4 Juli 1903).

Membaca sekilas dan memahami isi suratnya, benar-benar memberi gambaran yang jelas, seluas dan sedalam apa pemikiran-pemikirannya. Visi misi seorang manusia tentang wajibnya mencari ilmu, kerja keras meraih cita-cita, memberikan uswah keteladanan sangat butuhnya manusia terhadap Tuhan dan tegarnya menghadapi cobaan. Semua menunjukkan kematangan dan kedewasaannya.

Dari tulisan-tulisan curahan hatinya, jelaslah Kartini adalah sosok yang religius. Ayahnya seorang bupati Jepara—Raden Mas Adipati Sastrodiningrat. Merupakan cucu dari Bupati Demak Tjondronegoro. Ibunya MA Ngasirah, putri dari Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai Haji Siti Aminah. Maka wajar jika surat-surat Kartini banyak yang bernapaskan Islam. Seperti terungkap dalam tulisan di bawah ini:

"Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik ... sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?" (surat Kartini kepada Abendanon 27 Oktober 1902).

"Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang," (surat Kartini kepada Ny Abendanon 5 Maret 1902).

"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah," (surat Kartini ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903).

"Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai," (surat Kartini kepada Ny Van Kol, 21 Juli 1902).

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri kepada tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama," (surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Jika kita merunut tanggal penulisan surat-suratnya, jelas sekali Kartini telah menjadi semakin cerdas dengan berpegang teguh pada ajaran Islam. Awalnya, ia memang terkagum-kagum dengan kehebatan peradaban Barat, namun pada akhirnya ia mengacuhkan.

Menurutnya, banyak hal-hal dari Barat yang tidak layak disebut peradaban. Mulanya, ia memang tercerahkan dengan dahsyatnya pemikiran Barat, namun pada akhirnya ia beristighfar (bertaubat). Rencananya, ia ingin sekali memperjuangkan "kesetaraan gender", namun pada kesimpulannya bukan itu yang ia inginkan. Yang diperjuangkan justru "keserasian gender". Artinya, keserasian antara peran dan tanggung jawab seorang laki-laki (suami) dan perempuan (istri) baik di rumah maupun di luar rumah. Bukan saling mengalahkan dan menyalahkan tetapi saling berjalan beriringan sesuai perintah Islam.

 

Disarikan dari Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement