Jumat 21 Apr 2017 16:33 WIB
Hari Kartini

Kartini, Pusat Perjuangan Emansipasi Indonesia

Kartini
Foto: gojepara.com
Kartini

REPUBLIKA.CO.ID, Kartini telah menjadi pusat perjuangan emansipasi Indonesia. Kedalaman inspirasi memperjuangkan emansipasi selalu ditiup-tiupkan dari apa yang telah ditulis dalam korespondensinya dengan seorang Belanda. Hampir tiap tahun, anak-anak sampai orang dewasa selalu diindoktrinasi tidak langsung dengan apa yang dimaksudkan oleh Kartini. Dia benar-benar jadi pusat heroisme zamannya.

Penafsiran atas maksud-maksudnya selalu tidak bebas, karena harus merujuk apa yang dikatakan pusat kekuasaan. Semua perjuangan Kartini dieksplorasi pusat kekuasan untuk diindoktrinasikan pada mayoritas, sehingga terbentuk iklim bawah sadar bahwa Kartini benar-benar figur pusat emansipasi di Indonesia.

Sikap-sikap apologetik diperlihatkan pusat kekuasaan bila apa yang diutarakan Kartini hendak dikoreksi atau dikritik. Pusat kekuasaan nampaknya alergi atas koreksi atau kritik itu, bahkan bila koreksi atau kritik itu diperhalus bahasanya.

Bahasa eufemisme yang sering dipakai untuk menghanyutkan massa menjadi efektif sekali untuk mengabadikan hampir semua yang dikeluarkan pusat kekuasaan. Akibatnya, dinamika kreatif massa untuk menafsirkan realitas sejarah pun jadi mandul, alasannya tidak boleh keluar dari -mainstream.- Sayangnya, -mainstream- ini 'diciptakan' oleh pusat kekuasaan. Coba kalau seandainya -mainstream- penafsiran sejarah ini berkembang dari dinamika kreatif massa, mungkin persoalan interpretasi ulang atas hero-hero sejarah akan berjalan lain.

Kontinuitas sejarah tidak pernah ada. Tiap episode dalam sejarah memberikan kebenarannya dalam bangunan peradaban dan kebudayaan manusia. Mereka yang mencari kontinuitas sejarah akan terjebak kedalam situasi rekayasa demi kepentingan tertentu. Sedangkan sejarah yang telah memfosil dibangkitkan kembali untuk melegitimasi realitas kini.

Usaha untuk mencari pertautan kebenaran dalam tiap episode sejarah hanya berakhir pada penjajahan menilai makna di balik tiap episode sejarah. Lalu, dimana keberadaan kritik dan koreksi sejarah? Padahal, selama ini kita selalu menggembar-gemborkan upaya meluruskan interpretasi atas sejarah yang telah direkayasa.

Heroisme dalam sejarah hanya milik jamannya. Di balik mitos heroisme tak pernah luput dari maksud kekuasaan. Lewat pengkultusan heroisme itu justru memasukkan manusia ke dalam situasi paradoks. Apa yang diperbuat hero-hero itu di masa lalu, bukanlah cerminan kritis untuk waktu yang lain. Bisa saja, kebalikannya. Apa yang dilakukan hero-hero itu dikritisi sebagai sikap pengecut atau akomodatif pada sistem penjajahan. Ketika waktu telah berubah dan manusia makin bebas menilai sikap hero-hero dalam sejarah, barulah diketahui maksud lain di balik pengkultusan hero.

Belum lagi kalau kita lihat penghadiran hero untuk kepentingan kekuasaan. Disini bisa saja terjadi bias antara apa yang dimaksudkan oleh hero-hero itu dengan apa yang diinginkan oleh sistem kekuasaan. Unsur rekayasa kembali berperan. Maksud sesungguhnya dari hero dibelokkan secara halus atas nama rekyasa kekuasaan. Sehingga, apa yang dicetuskan oleh hero-hero itu dipuji-puji sebagai panutan. Kembali, hero menjadi pusat dan membayang-bayangi eksistensi manusia.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement