Senin 17 Apr 2017 12:51 WIB

Memanjakan Xi dalam Ruang Bidikan Trump!

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping.
Foto: AP Photo/File
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Aji Teja H *)

Di tengah-tengah masifnya uji coba nuklir Korea Utara, setidaknya, pemerintahan Trump telah menunjukan kebijakan luar negeri sebagaimana jargon kampanyenya dengan apa yang dikatakan sebagai American First. Hal ini, terwujud tatkala Trump melakukan serangan yang tampak sebagai aksi moral untuk balasan terhadap penjatuhan senjata kimia yang AS tuding terhadap pemerintahan Suriah, Assad.

Serangan mematikan dengan perangkat senjata kimia itu dilakukan tertanggal 5 April 2017 sebelum pertemuan Trump dengan Xi. Tudingan ini tampak tidak hanya datang dari AS saja yang telah memosisikan kapal perang angkatan laut AS USS Porter untuk meluncurkan misil tomahawk ke wilayah Suriah di perairan laut Mediterania, sebagai alur kerja berbasis kepedulian moral. Namun, datang pula dari Inggris dan Prancis. Boris Johson mengatakan hal yang sama, bahwa Assad adalah dalam dibalik serangan kimia itu yang menewaskan lebih dari 100 orang warga sipil.

   

Sebelum serangan ini mencuat sebagai legitimasi aksi moral Trump dalam mengagresi negara yang diklaim berdaulat atas dunia internasional, serangkaian safari Menlu AS Tillerson, dilakukan pada negara-negara Asia Pasifik hingga berhenti di Cina. Rangkaian tindakan politik AS ini tentu mesti dapat dicermati tatkala serangan yang dilancarkan AS di Suriah bercitra ‘aksi moral’ bertepatan dengan pertemuan Xi dan Trump di Florida.

Pertemuan ini didahului oleh pertemuan Menlu Inggris dengan beberapa petinggi di Cina yakni Menlu Wang Yi dan diplomat Jiechi setelah singgah di Jepang dan Korea selatan. Agendanya, tak lebih dalam mengkondisikan Korut atas nama pembungkaman terhadap aktivitas nuklirnya. Sebelumnya, Korut terus meluncurkan beberapa rudal ke perairan timur semenanjung Korea (6/3) dan mendarat di Laut Timur (Laut Jepang). Hal ini pun dipicu oleh aktivitas latihan militer gabungan antara AS dan Korea Selatan. Perlu menjadi catatan, Korut telah melakukan pengujian penembakan rudal balistik sejak peluncuran Oktober tahun lalu. Korut pun sesunggunya telah ditekan oleh resolusi PBB dan mendapatkan 6 kali sanksi atas uji coba nuklir tersebut sejak 2006.

   

'Membandelnya' Korea Utara dengan aktivitas nuklirnya tentu menjadi pertanyaan tertentu akan pembiaran AS terhadap Korut. Satu sisi, AS telah melakukan agresi begitu mudah terhadap Suriah, Afganishtan, dan di beberapa negara Timur Tengah lainnya. Namun, Korea Utara yang telah mendapatkan sanksi PBB dan terisolasi secara internasional, belum kunjung dilancarkan sebuah agresi oleh AS.

Terjaringnya Korea Utara dalam “Poros Kejahatan” sejak dikumandangkan oleh Bush, Korut tetap utuh dibanding Suriah yang telah hancur menjadi penjara penyiksaan di atas bumi ini. Kunjungan Tillerson telah menggambarkan akan posisi yang tertarget bagi AS dikawasan Asia ini dengan menyabet Cina dan beberapa negara berpihak seperti Korea Selatan dan Jepang.

Provokasi AS dengan pemasangan THAAD yang menjadikan ancaman Korea Utara sebagai alasan tentu terlihat membidik Cina. Terlihat dari reaksi Cina yang menuntut pembatalan pemasangan radar itu. Bahkan, hal yang paling mencolok adalah dukungan AS terhadap militer Taiwan sebagaimana selama ini dibangun. Trump menyiapkan paket senjata yang lebih besar seperti sistem roket canggih dan rudal anti-kapal dibanding apa yang pernah ditawarkan oleh Obama. Pada titik-titik ini, justru memusat pada pusat bidikan geopolitik terhadap Cina.

   

Momentum yang mengamini hal tersebut adalah serangkaian rudal yang menghantam pangkalan udara Suriah ketika Xi dan Trump berdampingan dalam pertemuan di kawasan wisata Mar-a-Lago Florida. Betapa tidak, Suriah yang beberapa bulan lalu dengan mesti mendapatkan Sanksi PBB, telah di veto oleh Cina dendiri bersamaan dengan Rusia pada 1 Maret 2017.

Pukulan agresi yang dimana AS melangkahi PBB sebagai badan internasional yang mesti memediasi dilakukan begitu saja. Dalam arti, memberikan pesan bahwa veto Cina dimeja perundingan, tidak bisa memblokir otoritas AS sebagai pemegang kekuatan dunia. Veto tersebut konsisten dalam berbagai sikap pascaserangan balasan AS dengan pernyataan Putin yang menganggap bahwa senjata kimia bukanlah berasal dari rezim Assad. Hal ini menujukan, pesan tersendiri terhadap Cina. Dalam konteks inilah kirannya Cina harus bertekuk lutut dalam problem-problem kawasan yang berhadapan langsung dengan kepentingan AS, terutama di Asia Pasifik.

   

Beberapa kejadian tersebut telah menunjukan motif asas AS dalam melakukan politik intervensinya yang dibalut dengan “American First” tatkala upaya-upaya AS tak lebih dari mengamankan kedudukan dan pengaruh di Asia Pasifik. Pengamanan tersebut turut mengiringi kepentingan strategisnya secara permanen, yakni mengukuhkan benteng-benteng AS yang terbentang oleh Samudera Pasifik. Hal tersebut mampu dikondisikan oleh negara-negara proksi dan problem-problem rekayasa Korut yang dibuat dengan permanen.

Disinilah AS mengangkat Xi untuk dijamu dalam keadaan terjepit seolah membisikan padanya “Jangan macam-macam dengan AS”. Pada tahap ini, jalan moderat bagi Xi adalah kampanye akan diplomasi damai terhadap Korea Utara dalam mengentaskan masalah nuklir itu sendiri. Hal ini, tentu semakin mengaburkan visi kemajuan Cina dalam perekonomian seperti proyek reklamasi dan konflik Laut Cina Selatan serta mega proyek jalur sutra.

   

Terlepas dari hal itu, kiranya AS, Trump berikut slogan American First, bukanlah hal yang baru. Namun, menjadi arus kepanjangan yang telah membudaya bagi negara adidaya ini terutama dalam melakuakn intervensi agresi terhadap negara yang dipandang berdaulat. Jauh dari pada itu, AS mampu merekayasa problem Negara. Dan merekayasa kondisi dan momen kawasan, sehingga mampu dimana dan kapan AS masuk sesuai takaran momentum positif, sebagaimana rudal yang dilancarkan di Suriah hingga berimplikasi sebagai aksi moral AS.

Bahkan selain dua hal tersebut, agresi yang menabrak kedaulatan dan rekayasa problem negara, AS berani melangkahi organisasi dunia yang dipandang memiliki kewenangan memediasi problem-problem Internasional. Di sinilah poin yang menunjukan bahwa di bawah Trump, AS menjadi polisi dunia yang semakin menggila, menabrak berbagai konvensi meski lahir atas legitimasi-legititmasi tertentu. Termasuk organ-organ terkendali yang melegitimasi internasional seperti PBB.

   

Tindak tanduk AS yang serampangan ini, bukan malah memberikan kedamaian justru memberikan kesengsaraan yang begitu parah. Penjajahan kasat mata ini telah mengakibatkan jutaan manusia melayang di suriah yang nihil dalam pengharapan kedamaian PBB. Perseteruan kekuasaan menjadi negara nomor satu antara AS dan Rusia turut menghancurkan berbagai negara-negara lemah dan melumpuhkan penduduknya itu sendiri baik dari berbagai segmen kehidupan.

Agresi tersebut pun telah menunjukan bahwa Trump, AS mewujud sebagai entitas yang arogan terhadap dunia. Serakah terhadap hegemoni dan terus memonopoli negara-negara lemah yang dipetakan sesuai dengan kepentingan AS. Tak berdayanya PBB yang terlangkahi oleh AS tentu saja menunjukkan PBB menjadi organisasi yang gagal dan tidak berguna, justru yang terjadi negara-negara yang berkerumun diatas dunia sebagai kehidupan ‘anarkhi’ seperti hidup diatas hukum rimba.

Dan celakanya, harus rela dihegemoni oleh kekuatan AS yang serakah itu sampai pada akhirnya tindak tanduk AS membudaya diseluruh dunia menjadi pola interaksi internasional dan menjadikan kapital sebagai penghidupan negara-negara. Alhasil, posisi dan keadaan material yang menopang AS selamanya menjadi kepercayaan bagi negara-negara lain seiring arah pandang polugri negara-negara dunia adalah kepentingan materil walaupun tampak jelas kebusukan AS dalam menjajah dunia dan menjadi sebab kesengsaraan rakyat di seluruh dunia.

*) Aktivis Gema Pembabasan Kota Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement