Sabtu 01 Apr 2017 10:31 WIB

Batik Betawi Made In Wong Yogya

Produk kain batik di Sentra batik Betawi di Cilandak, Jakarta Selatan.
Produk kain batik di Sentra batik Betawi di Cilandak, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap peringatan Hari Kartini saban 21 April, hampir semua kaum perempuan di era 1950-an dan 1960-an, mengenakan pakaian, kain, atau kebaya batik. Para gadis atau ibu-ibu mengenakannya saat mengantarkan anak ke sekolah atau saat berangkat kerja ke kantor. Sayangnya, bagi para wanita kain batik dan kebaya telah dianggap kurang praktis. Terlalu ribet di banding celana panjang atau rok. Bahkan, para ibu di majelis-majelis taklim tradisional Jakarta, seperti Kwitang, Syafiiyah, dan Tahiriyah, sudah tidak lagi mengenakan batik. Padahal batik dan kebaya merupakan pakaian resmi wanita Indonesia, seperti sari di India.

Lalu sejak kapan sebenarnya Indonesia mengenal batik?

KRT Daud Wiryo Hadinagoro, pemilik usaha batik di Yogyakarta menuturkan, batik diperkirakan sudah dikenal di Tanah Air sejak abad ke-14. Dalam perjalanan industri batik yang telah berusia tujuh abad itu hanya masyarakat Betawi yang belum mempunyai hasil seni budaya batik Betawi. Menurut perancang dari Susuhunan Solo yang membuka toko di Yogyakarta ini, hal ini berdasarkan tak adanya literatur yang menuliskan dan menyatakan tentang batik Betawi. Itu karena batik betawi yang beredar saat ini kebanyakan bukan merupakan produk budaya Betawi asli melainkan batik Cirebonan dan Pekalongan.

Daud mengatakan, batik warna cerah yang sering dikenakan dalam acara-acara budaya Betawi adalah batik pesisiran. Tapi, orang kemudian mengidentikkannya sebagai batik Betawi. Hal inilah yang membuat pria kelahiran Yogya untuk menciptakan tak kurang dari 20 motif batik Betawi. Di samping untuk kian memasyarakatkan batik sekaligus juga mempromosikan budaya Betawi.

Motif batik karya Daud ini memiliki latar belakang peristiwa dan sejarah yang pernah terjadi di Jakarta. Seperti, motif batik Betawi lereng parang barong ceplok barongsai, memaparkan ide mengenai budaya Betawi yang dipengaruhi budaya Arab, India, Belanda, dan Cina. Seperti barongsai, Imlek, capgomeh, dan pehcun. Atraksi-atraksi tersebut biasanya diiringi musik tanjidor.

Dalam motif batik Ciliwung, ide konsep desain yang diangkat mengaktualisasikan peradaban manusia yang selalu bermunculan dari tepian air. Termasuk Ciliwung yang juga menjadi daya tarik bagi Portugis, Inggris, dan Belanda pada abad ke-16 dan 17 untuk menguasai Betawi. "Pemakai batik Ciliwung ini diharapkan akan menjadi pusat perhatian dan sebagai simbol rejeki yang mengalir tidak pernah berhenti," kata Daud.

Motif nusa kelapa memiliki ide desain dari peta Ceila yang dibuat Pangeran Panembong pada masa Prabu Siliwangi (1482-1521). Dari peta itu terungkap daerah yang dikemudian hari bernama Jakarta sesungguhnya oleh leluhur Betawi dinamakan Nusa Kelapa. Batik ini muncul dari suasana Nusa Kelapa tempo dulu dan warna para noni Belanda yang duduk istirahat di bawah pohon kelapa.

Motif lereng ondel-ondel diambil dari suasana perayaan HUT DKI Jakarta dengan berbagai macam pagelaran termasuk ondel-ondel sebagai boneka tolak bala. Motif ini mengandung harapan agar pemakainya mendapat kehidupan yang lebih baik. Batik bermotif rasamala mengetengahkan riwayat Belanda masuk ke Bandar Kelapa (Betawi) yang masih penuh dengan rimba raya.

Seorang dokter bernama Bontius yang meninggal 1631 dalam Historiae Naturalis & Medic ae Indiae Eik menyebutkan jati Hindia ini sebagai pohon rasamala. Junhun pun mencatat pohon itu bernama rasamala. Penduduk Betawi tidak pernah berani menebangnya karena dianggap keramat karena kulit kayunya mengeluarkan bau wangi. Sedangkan, babakan atau kulit kayunya dijadikan setanggi karena bau harumnya. Karenanya, nama kampung Kramat Pulo dan Kramat Jati, kemungkinan besar disebabkan pada waktu itu di sana banyak ditumbuhi pohon rasamala. Kini, rasamala merupakan pohon yang langka dan hanya terdapat di Kebon Raya Bogor.

Batik Jakarta oh Jakarta merupakan perpaduan dari huruf Arab dan Cina (motif Banjinya) dengan latar isen dari motif India. Adapun isi keseluruhannya mengungkapkan perkembangan budaya dan sosial akibat perubahan zaman di sekitar kota Jakarta. Sedangkan, motif batik Salakanagara mengangkat tema kerajaan pertama di tanah Betawi yang didirikan oleh Aki Tirem pada 130 M. Nama Salakanagara berkaitan dengan kepercayaan yang menganggap gunung mempunyai kekuatan dan gunung itu diberi nama Gunung Salak (dekat Leuwiliang).

Daud menerangkan, pembuatan batik Betawi ciptaannya itu telah dirintisnya sejak tiga tahun lalu. Ia mengungkapkan, idenya muncul dari tulisan budayawan Betawi Ridwan Saidi dan wartawan senior Republika Alwi Shahab. Batik ciptaannya ini terdiri dari batik tulis dan batik printing yang dapat diproduksi secara masal.

Batik Betawi Daud ini pun direspon positif oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso sebagai apresiasi terhadap seni budaya Betawi. "Tapi, Gubernur menolak motif batik berjudul Becak karena kendaraan roda tiga ini berdasarkan Perda terlarang di Jakarta," ujar Daud.

sumber : Dokumentasi Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement