Pansus Pemilu Siapkan 3 Opsi Keterwakilan Perempuan

Jumat , 31 Mar 2017, 08:42 WIB
 Anggota Pansus Pemilu Hetifah Sjaifudian.
Foto: dpr
Anggota Pansus Pemilu Hetifah Sjaifudian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterwakilan dalam politik menjadi salah satu isu krusial yang sedang dibahas anggota Pansus RUU Pemilu. Sejak pembahasan RUU, Pansus sudah mengundang kelompok aktivis perempuan untuk mendapat masukan-masukan upaya meningkatkan keterwakilan perempuan.

 

Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR periode 2014-2019 sebesar 18 persen. Dalam UU Pemilu, pencalegan diatur agar memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan.

 

“Dalam pembahasan yang dilakukan pansus, muncul tiga opsi untuk meningkatkan keterwakilan di DPR,” ujar Anggota Pansus Pemilu Hetifah Sjaifudian dalam keterangan persnya, Kamis (30/3).

Opsi pertama ialah keterwakilan perempuan diatur seperti UU sebelumnya, yaitu memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalegan. Opsi lainnya ialah meningkatkan keterwakilan perempuan dengan menggunakan sistem zipper murni, yaitu pencalegan 50 persen laki-laki dan 50 persen perempuan. Artinya, nomor urut 'selang-seling', misalnya, nomer urut 1 laki-laki, nomer urut 2 perempuan dan seterusnya.

 

Opsi ketiga, meningkatkan keterwakilan perempuan dengan menempatkan caleg perempuan nomer urut 1 di 30 persen dapil. 30 persen dapil tersebut adalah dapil yang parpolnya mendapat kursi pada Pemilu sebelumnya.

Mendagri Optimistis UU Pemilu Selesai Bulan Depan

 

“Kami mendukung keterwakilan perempuan dengan menempatkan perempuan di nomor urut 1 di 30 persen dapil, serta penerapan zipper murni dalam pencalegan,” ujar politikus dari F-Golkar itu.

 

Anggota Pansus Johnny G. Plate mengatakan sebaiknya afirmasi keterwakilan perempuan 30 persen tidak perlu dimasukkan ke dalam hukum positif. Ia justru menyarankan, agar keterwakilan perempuan terakomodasi maka harus ditetapkan dalam keputusan partai politik, sehingga setiap parpol bisa melaksanakan hal itu.

 

“Secara prinsip, kami tidak tolak tapi undang-undang harus ada konsekuensinya, pada saat dia masuk ke hukum positif  maka dia imperatif. Kalau imperatif bentuknya, maka harus ada sanksi pelanggaran. Nah, kami sudah lakukan itu tanpa ada imperatif, namun kesadaran,” ujar politisi dari F-Nasdem ini.

 

Johnny menyebutkan jika norma tersebut dimasukkan ke dalam RUU maka sama saja negara tidak meningkatkan kemampuan sadar diri karena selalu membuat aturan yang ada sanksinya. “Negara tidak bisa dibangun begitu terus,” katanya.