Kamis 16 Mar 2017 17:50 WIB

Radikalisme di Tengah Intelektual?

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian memberikan kultum di Masjid Agung Annur, Pekanbaru, Riau.
Foto: dok.Istimewa
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian memberikan kultum di Masjid Agung Annur, Pekanbaru, Riau.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Beberapa waktu lalu dalam kuliah bertajuk "Tantangan Kebhinekaan dalam Era Demokrasi dan Globalisasi" yang diadakan di Aula Barat ITB, Kapolri Tito Karnavian menyatakan bahwa mahasiswa, terutama mahasiswa sains, berpotensi disusupi paham radikalisme.

Ia mengimbau para mahasiswa untuk mulai mengimunisasi diri agar tidak mudah terpengaruh doktrin radikalisme. Pernyataan Kapolri tersebut tentu bukan tanpa alasan.

Aksi terorisme yang marak akhir-akhir ini disinyalir tumbuh dari paham radikalisme, terutama di kalangan intelektual.

Sayangnya, tak sedikit dari aksi tersebut yang mengatasnamakan Islam sehingga muncul stigma bahwa orang yang berpegang teguh pada Alquran dan sunah serta ingin menerapkannya dalam kehidupan privat dan publik serta menolak nilai Barat terindikasi radikalis dan teroris.

Hal ini jelas tidak benar karena tidak semua pejuang syariah adalah teroris. Apalagi Islam sendiri melarang tindakan terorisme. Rasulullah pun memberikan teladan bahwa penegakan syariah hanya dengan dakwah amar makruf nahi mungkar, bukan dengan kekerasan.

Maka, kaum intelektual harus berpikir kritis dan terbuka dengan pemikiran Islam, serta tidak meninggalkan aspek akidah dalam aktivitasnya.

Egia Astuti Mardani

Mahasiswi Sastra Arab Universitas Gadjah Mada

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement