Rabu 15 Mar 2017 06:05 WIB
Pulangnya Bung Hatta

Hari-Hari Terakhir Bung Hatta

Bung Hatta
Foto: [ist]
Bung Hatta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa, Wartawan Republika

Tiga puluh tujuh tahun lalu, Jumat 14 Maret 1980, Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, wafat dalam usia 77 tahun. Sepanjang hidupnya, tokoh kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, tersebut berjuang demi kesejahteraan bangsa Indonesia. Ia dikenal luas sebagai sosok yang cerdas, tekun, pendiam, tepat waktu, ringkas bila berbicara, jujur, dan hidup sederhana. Kepergiaannya pun meninggalkan duka teramat dalam bagi segenap rakyat Indonesia.

Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta mencatat hari-hari menjelang Bung Hatta meninggal dunia. Memasuki 1979, kesehatan bapak tiga putri ini (Meutia Hatta, Gemala Hatta, dan Halida Hatta) menurun drastis. Kedua kakinya juga sering kaku sehingga membatasi geraknya. Karena itu, pihak keluarga meminta Bung Hatta untuk mengurangi jadwal kunjungan ke daerah-daerah dan aktivitas lainnya supaya lebih banyak beristirahat di rumah.

Namun, Bung Hatta pantang menyerah. Pendiriannya begitu teguh. Baginya, menjumpai rakyat Indonesia, khususnya generasi muda terpelajar, adalah kebahagiaan tersendiri. Betapa besar harapan Bung Hatta terhadap mereka sebagai penerus perjuangan bangsa.

Sebagai contoh, pada Juni 1979, Kongres Asosiasi Sarjana Ekonomi Indonesia berlangsung di Bogor, Jawa Barat. Bung Hatta tidak hanya memaksakan diri untuk hadir, melainkan juga menulis uraian yang cukup panjang untuk teks pidatonya di hadapan peserta kongres. Untuk itu, ia menghabiskan waktu seharian penuh di antara koleksi buku-bukunya di perpustakaan pribadi rumahnya.

Keesokan hari, dalam acara tersebut Bung Hatta didampingi ekonom Universitas Indonesia yang juga menantunya, Sri Edi Swasono. Saat menyampaikan pidato, tampak Bung Hatta tidak dalam kondisi fit. Belum tuntas pidato dibacakan, Bung Hatta harus beristirahat sejenak. Edi Swasono kemudian membacakan setengah dari teks pidato itu yang belum disampaikan hingga akhir.

Isi uraian Bung Hatta menegaskan kembali pentingnya koperasi sebagai sokoguru ekonomi Indonesia. Para hadirin merupakan ekonom dari kampus-kampus ternama, bukan hanya dalam negeri, melainkan juga luar negeri. Di antaranya, para teknokrat lulusan University of California, Berkeley, AS. Mayoritas mereka menyaksikan Bung Hatta sebagai ekonom sepuh dengan ide-ide di luar arus besar (mainstream).

Saat itu, haluan perekonomian nasional condong pada kapitalisme yang mengandalkan utang dari negara-negara asing. Mengutip Sri Edi Swasono, Indonesia dalam Orde Baru susungguhnya melenceng dari cita-cita UUD 1945, khususnya Pasal 33. Inilah yang meresahkan Bung Hatta di hari-hari terakhirnya.

Bukan hanya dalam bidang ekonomi, perpolitikan nasional saat itu mengkhawatirkan. Mavis Rose mencatat, Petisi 50 merupakan aksi politik terakhir Bung Hatta.

Dokumen tersebut menyuarakan protes terhadap Presiden Soeharto yang dinilai eksesif dalam menafsirkan Pancasila. Petisi ini terbit pada 5 Mei 1980 di Jakarta dan ditandatangani 50 tokoh nasional, antara lain Muhammad Natsir, Burhanuddin Harahap (mantan perdana menteri), mantan kapolri Jenderal (purn) Hoegeng Imam Santoso, Mayjen (purn) HR Dharsono, mantan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, dan Jenderal Besar AH Nasution. Dalam hal ini, Bung Hatta secara terbuka mendukung Petisi 50 dengan bersedia menjadi patron para penanda tangan.

Pada 1980 merupakan masa puncak kekuasaan Orde Baru. Pancasila —hasil tafsiran Soeharto— dijadikan asas tunggal yang dipaksakan kepada seluruh organisasi masyarakat Indonesia. Bahkan, suatu kali Presiden Soeharto berkata, “Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila.” Sebagai seorang demokrat sejati, Bung Hatta menentang sikap otoriter Orde Baru.

Di sisi lain, rezim Orde Baru rupanya tidak ingin berhadap-hadapan dengan sang proklamator RI. Pemerintah saat itu beralasan, Bung Hatta sudah sepuh sehingga dukungannya terhadap Petisi 50 tidak perlu ditanggapi serius. Memang, Bung Hatta sendiri tidak sempat menyaksikan bagaimana kerasnya perlakuan penguasa terhadap tokoh-tokoh Petisi 50.

Muhammad Natsir, misalnya, dicekal dengan tidak boleh bepergian ke luar negeri oleh pemerintah. Akibatnya, tokoh DDII itu harus membatalkan pertemuan dengan para pemimpin organisasi Muslim dunia. Hubungan antara rezim Soeharto dan simpatisan Petisi 50 baru “membaik” sejak Juni 1993, ketika Menristek saat itu, Prof BJ Habibie, mengundang mereka untuk ikut meninjau PT PAL Surabaya.

Pada 3 Maret 1980, Bung Hatta masuk RS Cipto Mangunkusumo untuk menjalani serangkaian perawatan. Itulah untuk terakhir kalinya Bung Hatta pergi meninggalkan rumah.

Pada 13 Maret 1980, kondisi fisik suami Rahmi Rachim itu kian merosot sehingga harus menjalani tindakan medis di ruang ICU. Pada pukul 18.56 WIB, hari Jumat, 14 Maret 1980, ia menghembuskan nafas terakhir. Bung Hatta wafat dengan tenang didampingi sejumlah anggota keluarga tercinta. Bangsa ini pun kehilangan salah seorang putra terbaiknya.

Keesokan harinya, ribuan orang berbondong-bondong menuju rumah duka di Jalan Diponegoro 57, Jakarta. Jalan-jalan menuju kompleks makam Bung Hatta telah dipenuhi lautan manusia. Mereka ingin melepas kepergian Bung Hatta yang untuk terakhir kalinya. Pernyataan duka juga disampaikan para pemimpin dunia, khususnya negara-negara sahabat. Mereka mengenang Bung Hatta sebagai pejuang demokrasi yang gigih.

Gema tahlil mengiringi jasad Bung Hatta sampai ke liang lahat. Pemakaman berlangsung dengan upacara kenegaraan yang dipimpin wakil presiden Adam Malik. Dalam keterangan persnya, Presiden Soeharto meminta masyarakat untuk meneruskan cita-cita Bung Hatta. Banyak para pelayat yang menangis seakan kehilangan orang tua sendiri. Dalam sanubari mereka, Bung Hatta telah menjadi penjaga nurani bangsa. Ia merupakan pemimpin yang dicintai, bukan ditakuti, rakyat seluruhnya.

Dalam wasiatnya, Bung Hatta menyebutkan, bila kelak meninggal dunia, ia ingin dimakamkan di kompleks permakaman biasa. Maknanya ia enggan berpisah dengan rakyat Indonesia yang dicintainya. TPU Tanah Kusir menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Betapapun jasad Bung Hatta amat pantas berada di taman makam pahlawan nasional.

Puluhan tahun sejak kepergian Bung Hatta. Adakah cita-citanya yang berhasil kita teruskan?

Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja

lurus yang tabung

waktu yang tepat berdentang

janji yang tunai

kalimat yang ringkas padat

tata hidup yang hemat

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta

Pada stelan jas putih dan pantalon putihnya

Simbol perlawanan pada disain hedonisme dunia

Tidak sudi berhutang

Kesederhanaan yang berkilau gemilang

(Taufiq Ismail, penggalan sajak “Rindu pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta”, 2014)

 

 

Baca juga tulisan lainnya:

Kepingan-Kepingan Kisah Kepulangan Mohammad Hatta

Perbedaan Prinsip Membuat Hatta Memilih Bercerai dengan Sukarno

Tatkala Bung Hatta (Kembali) Menyelamatkan Republik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement