Selasa 21 Feb 2017 13:30 WIB
68 Tahun Kematian Tan Malaka

Tan Malaka dan Islam

Potret Tan Malaka
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Potret Tan Malaka

Oleh Muhammad Subarkah, wartawan Republika

 "Itu kan versinya PKI. Tan Malaka itu kan pahlawannya orang-orang PKI, Tan Malaka itu kan tokoh Marxis!" pernyataan ini dikatakan pihak-pihak yang hendak membubarkan diskusi tentang Tan Malaka di Surabaya, pada Februari 2014 silam. Mereka memprotes digelarnya acara diskusi buku tentang Tan Malaka karya peneliti asal Belanda, Harry A Poeze.

Pernyataan itu kemudian dibarengi pembatalan acara itu oleh pihak kepolisan dengan alasan keamanan, ternyata membuat publik terhenyak. Berbagai portal berita langsung memuatnya. Kabar ini pun segera merebak di jaringan radio-televisi, media sosial, baik Twitter maupun Facebook. Media masa cetak pada hari berikutnya ikut  memuatnya. Kabar ini terasa aneh sebab sebelumnya diskusi serupa yang digelar di Jakarta dan Bandung berlangsung biasa saja. Bahkan, sekitar sepekan ke depan, ketika digelar di Kediri diskusi itu ternyata disambut publik dengan meriah.

Banyak pihak menyayangkan pembubaran tersebut kala itu. Saat itu, Munarman, sang juru bicara Front Pembela Islam (FPI), ormas yang getol melawan komunisme juga tak sepakat. "Kalau benar Tan Malaka disebut sebagai orang PKI itu karena mereka tak tahu sejarah. Coba saya cek dan kalau benar pasti ada pihak yang 'bermain'," kata dia ketia itu.

Politisi Partai Gerindra yang selama ini telah memberikan perhatian penuh dalam soal sejarah, Fadli Zon, juga ikut kaget atas adanya peristiwa pelarangan itu. Apalagi, beberapa hari sebelum itu di perpustakan miliknya yang berada di bilangan Pejompongan, Jakarta Pusat, diskusi buku tersebut sudah berlangsung meriah dan sukses. Berbagai tokoh sejarah dan keluarga pejuang hadir dalam acara itu.

"Bahkan, beberapa bulan ke depan saya akan pasang patung Tan Malaka di depan rumah budaya saya di Bukittinggi. Bahkan, kalau keluarga Pak Tan Malaka sepakat, saya juga akan pasang kopian patung itu di kampung kelahirannya di Suliki, Negeri Pandam Gadam, Sumatra Barat. Tak bisa dibantah dia adalah salah satu bapak republik ini. Jasa dia sangat besar, tapi sayang banyak yang melupakan," kata Fadli Zon.

Bagi publik awam di Indonesia, sosok Tan Malaka memang misterius. Lebih celaka lagi tanpa merasa perlu membaca sejarah dengan saksama, mayarakat dengan gampang mengasosiasikan lelaki asal dengan sebutan peyoratif, misalnya dia tokoh Partai Komunis Indonesia.

Budayawan yang selama ini dikenal gigih melawan penyebaran paham komunisme, Taufiq Ismail, juga membantah dengan keras bahwa Tan Malaka itu orangnya PKI. Menurut Taufiq, dulu sebelum pemberontakan PKI 1926, dia memang tokoh PKI. Namun, dia kemudian keluar dari partai itu karena menentang pemberontakan tersebut. Dia kemudian mendirikan Partai Murba. Dan pada 1948, dia juga menentang pemberontakan PKI yang saat itu dipimpin Muso yang baru pulang dari Uni Sovyet.

"Jadi, dia adalah orang yang dimusuhi PKI karena sikapnya yang kritis. Dia juga menentang PKI ketika memberontak pada Hindia Belanda tahun 1926 dan memberontak kepada Republik Indonesia tahun 1948. Ayah saya, KH Gafar Ismail, yang juga anggota KNIP, akrab dengan dia. Setiap kali pulang sidang, beliau sering bercerita kepada saya bahwa dia telah bertemu dan berdiskusi dengan Tan Malaka. Dan, saya sendiri baca buku dia, Dari Penjara ke Penjara, pada waktu kelas lima Sekolah Rakyat hingga tamat. Sosok Tan Malaka memang mengesankan keluarga kami,'' Taufiq Ismail menegaskan.

Bagi kalangan umat Islam, memang terasa ada trauma mendalam ketika menyebut sosok Tan Malaka. Tuduhan yang kerap ditujukan kepadanya adalah ateis sekaligus anti-Islam. Tudingan 'gampangan' ini memang membuat sikap yang tidak adil kepadanya. Sebab, dalam artikel yang ditulisnya “Islam Dalam Tinjauan Madilog”, Tan Malaka mengakui ajaran Islam sebagai ajaran yang paling rasional, revolusioner, dan tegak dalam kondisi persamaan atas hak manusia. 

Menurut Tan Malaka, salah satu pokok utama dalam Islam adalah soal keesaan Tuhan. Menurutnya, Nabi Muhammad mengakui kitab suci Yahudi dan Kristen. Nabi Muhammad juga mengakui Tuhan Nabi Ibrahim dan Musa. Namun, Tuhannya Nabi Ibrahim dan Musa harus dibersihkan dari pemalsuan yang dilakukan bangsa Yahudi dan Kristen di belakang hari.

Dia menilai Muhammad SAW adalah intan yang ada di tengah-tengah lumpur. Sebab, ketika Muhammad lahir, masyarakat Arab tengah berada pada masa jahiliyah. Saat itu, perang saudara antarsuku tak henti-hentinya terjadi. Di tengah kondisi alam yang panas dan kesulitan ekonomi, perampokan dan pembunuhan adalah pekerjaan yang lazim terjadi saat itu.

Menurut Tan Malaka, Tuhan bagi Nabi Muhammad berada di mana-mana dan dalam rohani, bukan berbentuk benda seperti berhala. Karenanya, dalam Islam Allah tidak diwujudkan dalam suatu benda apa pun. "Pengaruh Islam dan Nabi Muhammad tersebut ternyata kemudian menjalar ke agama Kristen. Hal ini dapat dilihat pada aliran Protestan yang memandang Tuhan sebagai rohani tak lagi harus dengan simbol patung Yesus Kristus," tulisnya.

Terkait pandangan Tan Malaka terhadap ajaran Islam, Harry A Poeze menyatakan, Tan Malaka itu tetap mengaku sebagai orang Islam meski dia punya pandangan Marxis. Sikap ini pernah dia tegaskan di depan rapat terbuka di sebuah wilayah di Jawa Timur. Di situ Tan Malaka menyatakan kalau di depan Tuhan, dia akan mengaku sebagai orang Islam. Namun, ketika ditanya di hadapan massa, dia menyatakan sebagai orang yang berpandangan Marxis.

''Saya  kira Tan Malaka bukan seorang ateis. Namun, saya kira juga bisa dianggap sebagai orang ‘Islam abangan’ yang tidak bershalat lima kali sehari. Tapi dalam pikirannya, dia masih menganggap dirinya seorang Islam. Bahkan, Tan Malaka pernah bilang begini: Kalau di depan Tuhan saya mengaku orang Islam, kalau di depan rakyat saya adalah orang Marxis,'' kata Harry.

Menurut Harry, Tan Malaka menganggap Islam sebagai ajaran yang punya kodrat revolusioner. Menurut dia, kekuatan revolusioner Islam harus digunakan untuk mendirikan negara Republik Indonesia sosialis. ''Maka, dalam  hemat Tan Malaka: bantuan dan dukungan orang Islam harus ada dalam pembentukan negara Republik Indonesia.''

Dan sebagai pemikir pergerakan kebangsaan, Tan Malaka punya andil yang besar di dalam membentuk kerangka atau imajinasi sebuah bangsa baru yang bernama Indonesia. Dia adalah orang pertama yang memakai kata 'Indonesia' sebagai sebuah entitas politik dengan menulis buku, Menuju Indonesia Merdeka, tahun 1924. Penggunaan kata 'Indonesia' kemudian diikuti Moh Hatta ketika mendirikan Perhimpunan Indonesia (1926) dan Sukarno yang kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia (1927).

Hebatnya lagi, kiprah Tan Malaka juga menyebar ke banyak negara. Dalam petualangan politiknya pascakegagalan pemberontakan PKI 1926, dia mengorganisasi perlawanan terhadap kolonial di berbagai negara. Di Filipina bersama Louis Taruc, Tan Malaka mendirikan 'Hukbong Bayan Lapan Sa Hapon' (Pasukan Rakyat Anti Jepang). Dan ketika tinggal di Hong Kong, dia pun mengorganisasi gerakan perlawanan anti-Partai Kuomintang. Tak tanggung-tanggung kiprahnya melebar hingga masuk ke dalam wilayah negeri Cina, yakni sampai ke wilayah Shanghai dan Amoy.

"Bila kemudian melihat pada riwayat hidup antara Che Guevara dan Tan Malaka, keduanya memang ada persamaan. Namun, kemudian menurut saya, Tan Malaka tak tepat bila disebut Che Guevara Indonesia, lebih tepat Che Guevara itu ‘Tan Malaka’-nya Amerika. Apalagi, Tan Malaka kiprahnya lebih luas di banyak negara dan lebih dulu dari pada Che Guevara,'' Harry Poeze menegaskan.

Nah, melihat begitu besar jasa Tan Malaka, masihkah bangsa ini terus membiarkan sosoknya misterius? Ingat bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa pahlawannya! Terakhir, bila ada teriakan yel-yel merdeka atau mati, harus diingat itu adalah kalimat yang dibuat oleh mendiang Tan Malaka ini. []

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement