RUU Kepalangmerahan Terbentur Masalah Lambang

Rabu , 08 Feb 2017, 19:36 WIB
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjadi pembicaradalam diskusi Dialektika Demokrasi di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/7).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjadi pembicaradalam diskusi Dialektika Demokrasi di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepalangmerahan masih mangkrak di DPR selama kurun waktu 10 tahun. RUU ini tak kunjung selesai akibat masih ada perdebatan mengenai lambang Palang Merah Indonesia (PMI), yang dinilai mirip dengan lambang agama.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengatakan, diharapkan UU Kepalangmerahan bisa diselesaikan dalam dua masa sidang. Menurutnya, selama ini tidak ada kendala yang krusial dan dalam aturan hanya boleh ada satu logo di dunia.

"Ini yang akan kita selesaikan setelah masuk panja," ujar Dede.

Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla yang juga menjabat sebagai ketua umum PMI menjelaskan, lambang palang merah tidak merujuk kepada lambang agama tertentu. Sebab, lambang PMI memiliki ukuran yang simetris seperti tanda penjumlahan dalam matematika yang diciptakan oleh ahli matematika muslim yakni Muhamad Ibn Musa Al Khawarizmi.

"Kalau lambang salib kakinya panjang, jangan memberikan suatu indikasi lambang palang merah itu agama, karena yang mendirikan orang Swiss maka paling gampang saja gunakan lambang bendera yang terbalik," ujar Jusuf Kalla dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi IX DPR, Rabu (8/2).

Menurut Jusuf Kalla, lambang PMI tersebut dibuat sangat seferhana agar mudah dikenali dan terlihat dari jarak jauh. Selain itu, ada aturan agar PMI di masing-masing negara memiliki ciri nasional. Indonesia memilih bentuk bunga melati yang mengelilingi lambang PMI tersebut pada kongres kelima oleh Presiden Soekarno. Jusuf Kalla juga mengatakan, lambang PMI di dunia hanya satu saja dan berbeda dengan lambang kesehatan yang berwarna hijau.

"Bahaya nya kalau bermacam-macam lambang bisa penyusup masuk, itulah kenapa kita butuh hukum yang lebih kuat," kata Jusuf Kalla.

Indonesia sudah mengikuti ratifikasi Konvensi Jenewa, namun sampai saat ini belum memiliki undang-undang kepalangmerahan. Sejak PMI berdiri yakni pada 17 September 1945 payung hukumnya hanya berdasarkan Kepres RIS 25 Tahun 1950 dan Kepres 246 Tahun 1963. Dari 169 negara yang ikut ratifikasi Konvensi Jenewa, hanya dua negara yang belum memiliki UU Kepalangmerahan yakni Indonesia dan Laos.

Jusuf Kalla mengatakan, PMI sudah bekerja sejak perang kemerdekaan untuk membantu korban bencana di dalam negeri. Bahkan, PMI juga pernah ikut melakukan aksi kemanusiaan di luar negeri seperti di Pakistan, Filipina, Jepang, dan Myanmar. Sebab, PMI bukan hanya sekadar mengurusi masalah donor darah namun juga ikut dalam aksi kemanusiaan.