Selasa 31 Jan 2017 18:00 WIB

Pak Harto Ancam Bung Hatta dan Pak Nas

Red:

Salah satu yang ditunggu-tunggu wartawan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 2017 di Aula Gatot Soebroto Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (16/1) pagi, adalah pidato presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Konstitusi menjelaskan bahwa presiden mempunyai wewenang penuh terhadap TNI, baik administratif maupun operasional. Hal itu sesuai dengan UUD 1945. Tidak ada istilah panglima tertinggi angkatan perang RI di dalam UUD 1945, baik yang belum diamendemen maupun yang sudah diamendemen.

Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh jajaran TNI bisa mengantisipasi cepatnya perubahan dunia dan global. Selanjutnya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, terutama terkait dengan kebijakan yang akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah dan tantangan-tantangan yang dihadapi.

Menurut Presiden, perubahan dunia dan global sekarang ini sangat cepat sekali sehingga harus diantisipasi setiap ada perubahan. "Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, perubahan yang betul-betul sangat cepat. Atau masalah belum selesai, muncul masalah yang baru," ungkap Presiden Jokowi.

Tidak ada yang istimewa dalam pidato tersebut. Pers pun menanggapinya dengan adem-adem saja. Hal berbeda terjadi atas Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekanbaru, Riau, 27 Maret 1980, atau 37 tahun yang lalu.

Saat itu, Presiden Soeharto di depan para perwira tinggi begitu percaya diri. Apalagi, para jenderal itu umumnya masih junior, kecuali beberapa jenderal saja, seperti Menhankam/Panglima ABRI Jenderal M Jusuf dan Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo.

"Di masa lalu, Pancasila dirongrong oleh ideologi-ideologi lain dan partai politik. Saya meminta ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum," kata Soeharto dalam pidato tanpa teks dengan suara beratnya.

Menculik Parlemen

Pidato kontroversial itu menjadi topik diskusi tertutup oleh sejumlah jenderal purnawirawan Angkatan Darat. Mereka mengkritik pidato tanpa teks tersebut sebagai pelanggaran konstitusi.

Tiga pekan kemudian, di Markas Kopashanda (kini Kopassus), Cijantung, 16 April 1980, Presiden Soeharto kembali menegaskan seruannya. Bahkan, lebih mengejutkan lagi, "Lebih baik kami culik satu dari dua per tiga anggota MPR yang akan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 agar tidak terjadi kuorum," ujar Soeharto.

Dengan mimik serius, ia bereaksi keras terhadap sejumlah pengkritiknya. "Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila." Pernyataan itu seperti menahbiskan bahwa Soeharto merupakan personifikasi Pancasila. Seolah dialah satu-satunya yang berhak menafsirkan ideologi tersebut.

Pada 1980 itu adalah salah satu puncak perseteruan dua faksi di tubuh ABRI. Sejumlah jenderal senior purnawirawan menentang gagasan Soeharto. Mereka menginginkan ABRI netral, tidak mendukung partai politik, dalam hal ini Golkar. Di sisi lain, jenderal yang masih memegang tampuk TNI terjebak berada di belakang Soeharto.

Mantan pimpinan ABRI yang tergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat (Fosko TNI AD) segera berkumpul di Gedung Grahadi di Semanggi, Jakarta. Fosko berada di bawah Yayasan Angkatan Darat Kartika Eka Paksi. Tugasnya menyiapkan konsep-konsep internal untuk pengembangan Angkatan Darat.

Mereka memberikan masukan kepada KSAD Jenderal Widodo. Anggota Fosko beberapa pensiunan perwira tinggi senior, seperti bekas KSAD pertama Jenderal (Purn) GPH Djatikusumo, Letjen (Purn) HR Dharsono, Letjen (Purn) Sudirman, dan Letjen (Purn) M Jasin.

Kemudian diskusi Fosko dilanjutkan dengan pertemuan 5 Mei 1980. Mereka sepakat mengumpulkan tanda tangan sejumlah tokoh untuk mendukung enam butir pernyataan keprihatinan. Ditandatangani 50 orang tokoh militer, polisi, anggota parlemen, dosen, birokrat, bekas pejabat, pengusaha, dan aktivis.

Mereka membuat pernyataan atas nama Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yang didirikan pada 1 Juli 1978 oleh mantan wakil presiden Mohammad Hatta dan mantan kepala staf ABRI Jenderal (Purn) AH Nasution. Disepakati, pernyataan itu disampaikan melalui DPR dan meminta lembaga itu meminta penjelasan dari sang Presiden.

Sepekan kemudian mereka mendatangi gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Tokoh senior, bekas perdana menteri Mohammad Natsir, ditunjuk kelompok tersebut untuk menemui Ketua DPR Jenderal Daryatmo. "Bagi seorang presiden, pidato lisan atau tertulis sama nilainya di mata masyarakat. Kami ingin bertanya apa maksud pidato itu," ujar Natsir.

Presiden Soeharto pun marah. Dia tak peduli para penandatangan di antaranya sejumlah jenderal purnawirawan. Antara lain Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin, Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng, Letjen (Purn) M Jasin, dan Letjen (Purn) AY Mokoginta. Juga ada tokoh senior bangsa Sjafroeddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap, kemudian dikenal sebagai Petisi 50.

Soeharto menjawab pertanyaan itu dengan kemarahan. Melalui surat ke DPR, Menteri Penerangan Letjen (Purn) Ali Moertopo menganggap pernyataan itu menyinggung pemerintah dan menyiratkan usul pergantian pemimpin nasional.

Murka Soeharto tak terkendali. Ia berniat memberi hukuman kepada tokoh-tokoh senior bangsa tersebut. Ia memerintahkan pelarangan bepergian ke luar negeri, melarang mendapatkan kredit bank, melarang berbisnis, bahkan berniat membuang tokoh-tokoh itu ke Pulau Buru, bekas pembuangan tahanan pengikut Partai Komunis Indonesia.

Panglima ABRI Jenderal M Jusuf menentang rencana tersebut. Ia memang tidak ingin tentara terlibat dalam kegiatan politik, berseberangan dengan Letjen Ali Murtopo. Soeharto kecewa terhadap Jusuf yang dianggap mulai tidak loyal.

Aliansi baru

Soeharto bingung sebab lawan-lawan politiknya mayoritas justru berasal dari almamaternya, Angkatan Darat. Sejak itulah ia memerlukan sosok yang kuat untuk melindunginya tetapi tidak mungkin mengkhianatinya. 

Dipilihlah orang yang memimpin komunitas intelijen Indonesia, Letnan Jenderal Leonardus Benyamin (Beny) Moerdani. Ia adalah Asintel Hankam/Kepala Pusintelstrat/Asintel Kopkamtib. Sejak itulah Soeharto mengandalkan Benny untuk melakukan operasi intelijen terhadap para senior TNI yang sudah purnawirawan, termasuk "menginteli" politikus kawakan.

Soeharto memerlukan aliansi baru setelah pudarnya Menteri Penerangan Ali Moetopo akibat serangan jantung pada 1978. Ali Moertopo semula menjadi operator intelijen Soeharto. Namun, belakangan Soeharto mencurigainya mulai merongrong kekuasaan, mencoba menggalang kekuatan unttuk menjadi presiden sebagai pengganti Soeharto.

Maka pada kabinet selanjutya, tidak ada lagi nama Ali Moertopo. Orang-orang yang mengelilinginya pun mulai dipecat Soeharto. Terakhir, Ali meninggal dunia pada 1984.  Seiring dengan itu, mantan asisten pribadi Soeharto, Mayjen Sudjono Humardani, juga semakin surut pamornya. Di situlah Soeharto menemukan gaya kepemimpinan militer yang baru, model Beny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement